Kita semua tentu tidak asing dengan ungkapan “suami-suami takut istri” untuk menggambarkan betapa berartinya seorang istri bagi suaminya. Suami-suami yang ‘takut’ istri itu sebenarnya adalah para suami yang sangat sayang pada istrinya. Ia rela melakukan apa saja demi kebahagiaan istrinya hingga terkesan ‘takut’ pada istrinya. Bagi suami-suami tipe ini, kelelakian (masculinity) mereka akan jatuh jika tidak mampu membahagiakan istrinya. Anda tentu boleh berpendapat lain soal ini.
Di kalangan para pelaku terorisme juga banyak suami tipe ini. Meskipun banyak juga yang tipe otoriter, istri harus ikut apa kata suami. Bahkan ada juga meskipun sedikit, yang sampai pada tahap kalau tidak nurut akan dicerai. Tapi seotoriter apapun seorang suami, sebenarnya para istri punya kekuatan besar untuk bisa mempengaruhi suaminya. Setidaknya menurut saya lho ya.
Kekuatan para istri itu ada pada peran mereka sebagai ibu bagi anak-anak mereka. Seorang suami jelas tidak akan mampu mendidik dan membesarkan anak-anaknya dengan baik tanpa peran istrinya. Dalam kasus seorang suami yang terjerumus sampai melakukan tindak pidana terorisme karena pemahaman yang salah terhadap beberapa teks agama, seorang istri berpeluang untuk bisa membuat suaminya berpikir ulang atau malah membuat suaminya semakin radikal.
Di sinilah para istri bisa bernegosiasi. Di sinilah para istri bisa mempengaruhi suami dengan mulai mempertanyakan pilihan jalan yang ditempuhnya. Apakah pilihan itu berdampak positif ataukah negatif pada anak-anak mereka? Atau apakah semakin mempersulit mereka dalam membesarkan dan mendidik anak-anak mereka ataukah semakin mudah ?
Jika dengan ditangkapnya suami dan kemudian masuk penjara untuk beberapa tahun lamanya membuat anak istrinya semakin menderita, dan pendidikan anaknya terganggu, maka kemungkinan si napiter untuk berpikir ulang semakin besar. Dia akan berpikir ulang untuk tetap pada pemikiran dan jalan perjuangannya yang lama atau meninggalkannya dan mencari jalan perjuangan alternatif lainnya.
Bagaimanapun, seorang suami atau seorang ayah akan selalu beranggapan bahwa anak-anak adalah aset masa depan yang dapat melanjutkan perjuangan mereka. Mereka tentu berharap anak-anaknya bisa melanjutkan perjuangan tanpa terjerumus ke dalam kesalahan yang pernah dilakukan oleh orangtuanya. Jadi tak mengapa jika harus berdamai dengan keadaan. Tak peduli seidealis apapun dirinya. Dan inilah titik awal yang bagus bagi proses disengagement (pelepasan) dari kelompok lamanya.
Akan tetapi sebaliknya, istri napiter juga bisa membuat suaminya semakin kuat memegang prinsip perjuangan yang ekstrem dan sempit itu. Ini bisa terjadi pada para istri yang ketika suaminya dipenjara karena kasus terorisme justru mendapat kemudahan hidup dari para simpatisan dan pendukung kelompok suaminya. Misalnya: mendapat bantuan subsidi biaya sewa rumah, beasiswa pendidikan anak-anak mereka di sekolah-sekolah tertentu, dll.
Praktek penggalangan dana di kalangan para pendukung aksi-aksi kekerasan karena pemahaman ekstrem pada beberapa teks agama dan pemberian santunan kepada keluarga napiter itu lazim terjadi. Bahkan semakin hari semakin banyak. Setidaknya setahu saya sebagai orang yang pernah berada di kelompok tersebut, hal ini ada sejak tahun 2010 hingga hari ini.
Pasangan suami istri yang mendapatkan kemudahan hidup meskipun sang suami dipenjara itu akan semakin kuat ikatannya dengan kelompoknya. Dan semakin berat perjuangan sang suami jika ingin keluar dari kelompok lamanya itu. Setidaknya hal itu terjadi pada seorang napiter yang beberapa waktu yang lalu mengungkapkan kepada saya bahwa ujian terberatnya ketika dirinya memutuskan untuk meninggalkan kelompok lamanya justru adalah istrinya sendiri.
(Bersambung)
ilustrasi: pixabay.com