Di balik kegiatan pelatihan seri pertama dalam rangkaian program penguatan peran RT-RW dalam penanganan mantan napiter dan keluarganya di Desa Pegalangan Kidul Kec. Maron Kab. Probolinggo pada 22 Juli yang lalu, ada sebuah kisah drama yang menarik untuk diungkapkan.
Drama bermula ketika di hari Selasa (21 Juli 2020) sore menjelang Maghrib, Kepala Desa memberitahu saya bahwa dirinya di hari Kamis pagi tanggal 23 Juli harus sudah berada di Surabaya untuk mengikuti FGD bersama Dinas Pariwisata Pemprov Jatim terkait pengembangan agrowisata di desanya. Padahal tadinya kami sudah sepakat bahwa pelaksanaan pelatihan di Pegalangan Kidul akan dilaksanakann pada Kamis 23 Juli 2020.
“Jadi bagaimana ini Mas Arif, bisa nggak dimajukan jadi Rabu (tanggal 22) malam sehabis Isya? Kalau bisa, saya masih ada di rumah karena saya baru akan berangkat ke Surabaya dini hari”
“Kalau pesertanya tidak masalah diadakan malam hari, saya in sya Allah siap aja Pak jika harus dimajukan,” jawab saya tanpa pikir panjang demi mendengar bahwa desanya menjadi nominator desa wisata. Entah nanti kalau kemalaman saya mau balik atau nginap di rumah warga Desa Pegalangan itu pikir nanti.
“Ok, deal ya mas. Saya akan segera kondisikan para pesertanya,” pungkas Pak Kades.
(Belakangan ketika saya sampaikan ke anggota Sat Intelkam Polresta Probolinggo bahwa yang di Pegalangan dimajukan jadi Rabu malam, dia menyanggupi untuk mengantar dan menemani saya)
Drama belum berhenti sampai di sini. Masih berlanjut pada Rabu malam ketika saya sudah dalam perjalanan menuju Pegalangan Kidul. Kejadiannya menjelang Isya. Pak Kades kembali menghubungi saya dan menyampaikan bahwa dia tidak jadi berangkat dini hari karena pelat nomor mobilnya luar Surabaya, khawatir tidak bisa masuk Surabaya. Jadi diputuskan naik transportasi umum (bis patas) yang mengharuskan ia berangkat jam 7 malam.
Ia meminta maaf sekaligus menyampaikan bahwa nanti kegiatan akan dipimpin oleh istrinya dan untuk urusan administrasi bisa ditandatangani oleh istrinya. Dalam benak saya istrinya akan datang sendiri, tapi ternyata ketika saya sampai balai desa dia datang bersama anaknya yang masih balita. Subhanallah… Hebat sekali ibu ini. Besar sekali dedikasinya pada desa dan betapa besar dukungannya pada setiap kegiatan suaminya.
Yang menarik adalah : yang pertama-tama hadir di balai desa adalah para ibu-ibu. Istri Pak Kades, Bu RT dan Bu RW. Baru kemudian para suami mereka menyusul. Karena katanya para suami mereka menghadiri hajatan (kondangan) dulu.
Saya takjub melihat Bu Kades sibuk menelepon kesana kemari menghubungi peserta yang belum hadir dan urusan konsumsi. Berkali-kali Bu Kades malah meminta maaf karena suaminya tidak bisa ikut. Padahal saya merasa kok jadi merepotkan beliau.
“Tak apa Mas. Masnya sudah jauh-jauh datang masak kita mau santai-santai saja,” begitu kata Bu Kades sambil tersenyum. Ah, kata-kata itu membuat saya terharu. Dan hebatnya lagi si anak tetap tenang tidak merecoki ibunya.
Akhirnya, malam itu saya disuguhi pentas kerjasama dan gotong royong yang sangat epik lintas gender. Suami istri RT/RW dan dibantu oleh peserta lainnya bekerjasama menyiapkan kegiatan. Mulai membersihkan tempat, memasang lampu tambahan, sampai mencari pinjaman laptop karena laptop saya bermasalah tidak bisa tampil full di layar proyektor.
Dan drama ini ditutup dengan telepon dari Pak Kades di hari Jumat malam sepulang dari mengikuti FGD bersama Dinas Pariwisata Pemprov Jatim.
Beliau sambil tertawa-tawa menceritakan bahwa ketika dirinya memaparkan program pengembangan agrowisata di desanya yang akan melibatkan keluarga napiter dan kelompok radikal yang ada di desanya, ia mendapat perhatian khusus dan apresiasi dari pejabat terkait. Hal itu tentu saja menjadi nilai plus desanya yang tidak dimiliki oleh desa nominator dari daerah lain.
Sebuah akhir drama yang epik. Potret kerjasama antara suami istri yang sangat berdedikasi dalam pengembangan desanya.
FOTO RUANGOBROL.ID/ARIF BUDI SETYAWAN
Kegiatan di Desa Pegalangan Kidul, Kecamatan Maron, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur Juli 2020 lalu.