Memaknai dan Menjaga Kemerdekaan

Analisa

by nurdhania

Hari ini 17 Agustus 2020.

Sejak tulisan ini dibuat, terhitung 10 jam lagi Bapak Ir. Sukarno akan memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, di kediaman Laksamana Maeda, di sebuah rumah hibah dari Faradj bin Said bin Awadh Martak di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat. Kini lokasinya bernama Jalan Proklamasi.

Golongan pemuda telah membawa  Pak Sukarno, istri dan anaknya dan Bung Hatta sehari sebelumnya di Rengasgengklok, Karawang, Jawa Barat.  Momen yang sangat mendebarkan. Kita sampai membayangkan dan ikut merasakan bagaimanakah momen itu terjadi. Belum lagi, sempat ada perdebatan antara golongan tua dan muda.

Tak ada seorang pun yang ingin dijajah, ditindas, diperhamba. Semua ingin bisa bebas, dan berdiri di atas kaki sendiri. Karena kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Tapi, bukan berarti bebas tanpa aturan, ya. Kemerdekaan sudah lama diharapkan oleh masyarakat indonesia. Sudah ratusan tahun indonesia dijajah, dijarah harta bendanya, warganya diperbudak. Belanda selesai, datanglah Jepang dan menjajah lagi.

Pada tanggal 10 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Dalam kesempatan ini, para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang.

Saat ini, yang ada di hadapan kita sungguh berbeda dengan keadaan pada 75 tahun yang lalu. Seluruh dunia sudah ada yang mulai krisis dan sudah mengalami krisis sejak lama.  Tahun  2020 makin diperparah dengan adanya serangan virus Sars Cov 2, tak terlihat dengan mata telanjang. Tak menggunakan senjata tajam ataupun tank. Dan kali ini bukan satu sampai tiga negara.  Tapi, hampir seluruh negara di dunia diserang musuh tak kasat mata ini. Dia pun tak menyerang siapa dirimu, apa gendermu, status sosialmu, harta kekayaanmu. Siapapun bisa  tertular.

Ini bukan romusha Jepang atau kulturstelselnya Belanda. Tapi keadaan seperti ini memang "memaksa" kita untuk bertahan dengan cara apapun. Banyak yang terpaksa harus dirumahkan atau bahkan dipecat. Kita "dipaksa" untuk mulai hidup sehat. Karena selama ini kita sering menyepelekan perihal kebersihan dan kesehatan. Yang tadinya finansial adem ayem, pun akhirnya ikut terguncang. Kita juga "dipaksa" untuk kreatif agar tetap hidup dan waras.

Kita tak lagi bebas untuk keluar kesana kemari sesuka hati. Kita tak lagi bebas melakukan acara 17an di lapangan RT untuk merayakan pesta ini bersama warga perumahan.

Jujur saja. Hal ini harus kita katakan. Sebagian dari kita memang merasa tidak merdeka dan tidak bahagia ketika melakukan ini. Tapi, seiring berjalannya waktu, support, semangat, penjelasan detil dan saintifik mulai menenangkan kita. Memang, di awal hari, hal-hal diatas terpaksa kita lakukan.

Namun nampaknya saya dan sobatngobrol mulai bisa menerima keadaan dan saling memahami satu sama lain. Mencoba merefleksikan kemerdekaan itu sendiri.

Sangat jelas, di ulang tahun ke-75 kemerdekaan ini banyak kesan dan pesan bagi saya pribadi.  Sudahkah kita bebas dan merdeka seutuhnya dari pikiran pikiran yang menyakitkan batin dan fisik? Sudahkah kita punya rasa saling menghormati terhadap perbedaan perbedaan di antara kita semua? Sudahkah kita terbebas dari serangan para pemecah belah bangsa lewat ujaran kebenciannya di dunia maya? Masihkah kita mengesampingkan keadilan?

Jawaban ada di diri kita masing-masing.

Oleh karena itu, perjuangan untuk merebut kemerdekaan yang hakiki, dan melawan aneka “racun” di atas tidaklah dengan bambu runcing lagi.  Tapi, kita mulai atau lakukan dengan sikap peduli terhadap sesama, membantu mereka yang kesulitan, percaya diri bahwa kita bisa dan mampu untuk menang, meringankan tugas para tenaga medis dan orang-orang yang harus work from office, mencerdaskan kehidupan bangsa melalui edukasi online dan offline, dan mencegah hoaks atau hate speech.

Semoga kita konsisten dan menjaga kemerdekaan ini sampai titik darah penghabisan.

Komentar

Tulis Komentar