Suatu ketika, saya yang saat itu masih tercatat sebagai pelajar di salah satu lembaga pendidikan di Kota Kertosono, Nganjuk, terpaksa harus meminta izin untuk pulang ke rumah di Lamongan padahal bukan dalam masa liburan sekolah. Bukan tanpa sebab, saya baru teringat jika pernah memiliki hutang dan belum sempat dibayarkan.
Jumlahnya tak seberapa, hanya 500 rupiah. Tak berlebihan, 500 rupiah saja. Dan itu terjadi ketika saya masih kelas 2 SMP, saat hendak beli buah belimbing dan uangnya kurang 500 rupiah. Padahal sudah beberapa tahun berlalu, si penjual sudah lupa, bahkan uang 500 perak pun tak lagi berharga.
Sementara untuk pulang ke Lamongan, harus 4 kali naik turun kendaraan. Belum terhitung waktu dan biaya transportasi yang harus dikeluarkan. Agar tahu, jarak Kertosono – Brondong, Lamongan itu sekitar 150 Km jauhnya. Paling tidak, butuh sekitar 5 jam perjalanan dengan kendaraan umum.
Untuk nelpon ke rumah, tidak tahu harus kemana. Sementara saat itu, HP masih menjadi barang langkah dan tidak ada satu pun dari keluarga yang punya. Pikir saya, mumpung masih ingat dan sempat kenapa mesti ditunda.
Jika dipikir-pikir, apalah arti uang 500 perak. Toh yang dihutangi pun tak merasa, pun pula tak sebanding dengan biaya transportasinya. Paling tidak, butuh 50 ribu rupiah untuk sekali jalan (di tahun itu), dan itu 100xlipatnya.
Bagi saya, perkara hutang bukan saja soal bagaimana cara kita mengembalikan apa yang sudah kita pinjam. Namun itu adalah soal komitmen dan tanggung jawab, terhadap cerminan diri kita sendiri tentunya.
Meski demikian, ada saja orang-orang yang dengan begitu mudahnya memandang perkara hutang sebagai sesuatu hal yang biasa-biasa saja. Dan lebih menjengkelkan, jika mereka yang menjadi pelaku hutang-piutang ini justru berasal dari kalangan religius yang gemar teriak-teriak membela Tuhan. Sesuatu yang harusnya pantang untuk dilakukan, lebih-lebih meremehkan perkara yang justru bisa memberatkan hisab di Hari Perhitungan.
Fenomena kaum yang mengaku ‘religius’ gemar berhutang namun susah saat diminta untuk mengembalikan ini, sungguh bukanlah hisapan jempol semata. Alih-alih memperjuangkan nama Tuhan, namun entah Tuhan mana yang sedang ia perjuangkan.
Satu kasus misalnya. Seseorang datang berhutang dengan alasan kebutuhan keluarga dan untuk keperluan modal usaha. Sebagai jaminan, ia menyadur ayat-ayat surga untuk meyakinkan bahwa jiwanya teguh dalam keimanan. Dengan kata lain, pantang baginya untuk berbuat ingkar. Maka, ia berhasil mendapatkan apa yang diinginkan. Lamban laun berlalu, uang yang dipinjam seharusnya sebagai modal usaha, namun justru digunakannya untuk biaya pernikahan istri keduanya. Sementara, tidak jelas juntrungnya kapan uang pinjaman akan dikembalikan kepada si empunya.
Orang lain mungkin mengira fenomena ini hanya hoax dan bualan semata yang hanya ingin merusak citra pribadi seseorang saja. Saya hanya katakan, apakah mereka yang dianggap religius dan teguh imannya, lantas bersih tak bercacat dan suci tanpa noda? Tidak, wahai Kisana.
Mereka yang berjuang di jalan Tuhan saja, lalu mati karena tebasan pedang. Di mata manusia, ia dianggap telah gugur sebagai syuhada’ perang dan surgalah imbalannya. Namun bagi Tuhan, rupanya belum tentu bisa semudah itu. Selain perkara niat, hutang juga bisa menjadi salah satu pengganjal menuju rahmat-Nya.
Entah, apa karena agama hanya dianggap sebagai riasan, sehingga hutang baginya hanya sebatas guyonan yang asyik untuk ditertawakan sehingga tanpa terpikir ada kewajiban dan tanggung jawab moral? Minjamnya serius, saat balikin ogah-ogahan.
Agama mana pun memang tidak melarang bagi umatnya untuk berhutang, sejauh itu benar-benar dibutuhkan. Silahkan saja habiskan uang yang ada sesuai dengan keperluan. Namun ada kewajiban dan tanggung jawab yang harus diselesaikan, yakni melunasi pinjaman sesuai tenggat waktu yang sudah ditentukan. Tidak perlu ditunda selagi nafas masih ada dan organ tubuh masih bisa bekerja.
Dan tentu semoga saja Tuhan mudahkan semua urusan kita, menjauhkan dari berbagai kesulitan yang ada, dan melancarkan usaha dalam mencari pundi-pundi kehidupan agar kita tidak kembali terjerat dalam hutang yang justru akan menjadi penghalang menuju surga-Nya yang abadi. Wallahu a’lam .…