Hadi Pranoto mengaku menemukan obat herbal untuk penanganan COVID-19. Hal itu ia ungkapkan dalam sebuah video yang di-take down Youtube bersama Anji. Saking sayangnya, Anji bahkan melabeli narasumbernya itu dengan sebuah panggilan sayang, “Prof”.
Sebelum kemunculan video yang dianggap menyesatkan tersebut, Anji telah memunculkan kontroversial. Anji mengkritisi foto seorang fotografer National Geography mengenai jenazah pasien COVID-19. Menurutnya, COVID-19 tak seberbahaya itu dan ada ulah pihak-pihak tertentu yang menggemborkan bahwa COVID sangat berbahaya. Jelas yang lebih berbahaya adalah komentarnya Anji, bukan?
Anji juga tak mau berhenti disitu, ia mengungkapkan bahwa sebenarnya banyak yang mendukung argumennya. Namun tidak seberani mantan vokalis drive tersebut. Menurut Anji, tekanan netizen yang maha benar akhirnya membuat banyak orang takut berbicara kebenaran tentang COVID. Anji memposting sebuah komentar di DM-nya yang berasal dari seorang artis. Netizen tau aja siapa artis tersebut dan tentu kena hujat juga.
Bukan Anji namanya jika menyerah begitu saja. Anji pun memposting video dengan Prof. Hadi Pranoto. Dengan wajah kaget, Anji mendengar pernyataan bahwa virus COVID-19 bisa mati di suhu 350 derajat celcius. Suhu tersebut sama dengan melelehkan baja, katanya. Netizen sebagai penegak kebenaran dan keadilan pun me-report video Anji yang dianggap menyesatkan.
Kesesatan utama dari video tersebut tentu karena Hadi Pranoto bukan Prof, bukan pula seorang dokter. Bahkan jika kita googling, akan muncul Hadi Pranoto, ST.,MT yang beralamat di Jl. Damar 6 Blok D6-D7, RT 010/RW.024, Mustika Jaya, Kecamatan Mustika Jaya, Kota Bekasi, Jawa Barat. Di berbagai media, Hadi mengaku bahwa ia berasal dari tim riset independen. Hadi juga mengaku siap menuntut balik Muannas Alaidid 145 Triliun atas laporannya ketika diketahui ia sudah dilaporkan ke pihak kepolisian bersama Anji.
Masa Pandemi COVID-19 dan Pandemi Hoaks
Hingga Juni 2020 lalu, gugus tugas COVID-19 telah menemukan 137.829 hoaks yang beredar di masyarakat. Hoaks tersebut mulai dari kabar asal muasal virus, upaya pencegahan, upaya pengobatan hingga hoaks yang menyebut bahwa virus ini tidak ada. Meski kadang tidak masuk akal, namun itu banyak dipercaya masyarakat. Apalagi ini sering disebarkan oleh mereka yang dikenal sebagai influencer seperti Anji.
Beberapa waktu lalu, New York Times merilis tentang penanganan Covid di Indonesia. Meski angka pasien positif sudah mencapai 100 ribu, pemerintah tidak menyiapkan informasi yang baik. Kesenjangan informasi ini yang diduga menjadi peluang bagi hoaks termasuk ahli-ahli dadakan untuk bicara dan unjuk gigi. Pemerintah dianggap lambat merespon kesenjangan ini sehingga ketika infodemic sudah memuncak, kontra narasi dengan ilmu pengetahuan pun diabaikan.
Negara lain dengan mudah mengatasi hoaksh pandemi karena keadaannya jauh berbeda dengan indonesia. Negara yang kaya akan keberagaman ini justru memiliki cara dan keyakinan yang beragam juga. Keyakinan ini kemudian diperdebatkan dengan ilmu pengetahuan. Misalnya salah satu pemda di Lombok memerintahkan penggunaan cadar daripada masker. Adapun di Bali, pemerintah setempat menyarankan meminum alkohol tradisional yang disebut mencegah virus.
Dari kalangan pemerintah nasional, Syahrul Yasin Limpo menyarankan penggunaan kalung ekaliptus. Kalung tersebut kemudian juga digunakan sejumlah influencer seperti Iis Dahlia hingga Nagita Slavina. Fans-nya? Tentu banyak turut serta.
Peningkatan penggunaan media sosial seharusnya juga diiringi dengan dorongan memproduksi digital literacy. Bukan hanya kontra narasi, tapi dorongan agar masyarakat mengecek kembali informasi juga perlu ditekankan. Selain itu, media mainstream juga perlu mendukung pencegahan hoaks ini agar tidak semakin meluas.