Membuka ruang-ruang komunikasi dengan narapidana terorisme (napiter) sekaligus menyiapkan lingkungan di tempat napiter itu akan kembali di tengah warga perlu dilakukan. Langkah semacam itu dinilai bisa mencegah seorang mantan napiter kembali tergelincir ke kasus lamanya.
Hal itu dikatakan Nur Afifudin (46), seorang mantan napiter yang kini tinggal di Kota Semarang ketika kegiatan sosialisasi dalam rangka penguatan aparatur kelurahan, RT dan RW di Balai Kelurahan Manyaran, Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang, Selasa 28 Juli 2020 siang.
Dia bercerita, dia ditangkap pada tahun 2007 silam di Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, vonis 6 tahun kemudian ditahan di Lapas Cipinang Jakarta.
“Meski ‘seragam’ saya Cipinang tapi saya lebih banyak ditahan di Polda Metro Jaya, di Cipinang cuma 5 bulan. Ini ternyata membawa keuntungan bagi saya (ditahan di Polda Metro Jaya), karena di situ saya bisa interaksi dengan banyak orang yang datang membesuk, ada dari LSM, dosen, mahasiswa. Mereka bisa masuk dengan mudah,” kata Afif.
Mereka, sebut Afif, datang dengan berbagai tujuan. Selain membesuk, ada juga yang melakukan penelitian dan wawancara. Dari situ, terjadilah interaksi dan obrolan-obrolan, yang menurut Afif, sangat jarang didapatnya ketika masih berada di jaringan lamanya.
“Itu mengubah sudut pandang saya, oh ternyata selama ini Islam yang saya pahami saat itu keliru, ternyata bisa persuasif. Ini jadi tekad sendiri bagi saya ketika itu untuk nantinya setelah bebas akan produktif di tengah masyarakat,” lanjutnya.
Hal itu terbukti setelah Afif bebas. Hari ini, dia aktif di lingkungannya berkegiatan dengan warga, di antaranya dipercaya jadi takmir masjid, menjadi ketua penyembelihan hewan kurban hingga kegiatan-kegiatan sosial lainnya. Afif sendiri saat ini bergabung di Yayasan Putra Persaudaraan Anak Negeri (Persadani), yayasan yang mewadahi para mantan napiter di Jawa Tengah. Di yayasan itu Afif menjabat bendahara.
Soal kegiatan tatap muka dengan aparatur lurah, RT dan RW, Afif punya penilaian sendiri. Menurutnya, hal semacam itu belum pernah dilakukan, apalagi sengaja digelar sebagai salah satu sosialisasi untuk menyiapkan lingkungan sebelum ada napiter yang bebas kembali ke sana.
“Ini langkah yang baik, salah satunya agar napiter yang akan bebas nanti tahu kalau nanti akan dilayani dengan baik. Kadang memang jadi salah paham (kalau tidak ada sosialisasi sebelumnya),” kata Afif.
Senada dengan Nur Afifudin, Badawi Rachman (51) yang juga seorang mantan napiter, juga mengatakan kegiatan sosialisasi, memberikan pengertian kepada aparatur lurah, RT, RW dan lingkungan terkait terorisme dinilai memberikan dampak positif.
Dia bercerita, aktivitasnya setelah bebas penjara berjualan susu segar dan bubur kacang hijau di kawasan Semarang Barat Kota Semarang. Sehari-hari berinteraksi dengan warga, ternyata masih ada yang menjelek-jelekkan dia, dalam hal ini karena kasusnya, di depan dia sendiri.
“Padahal orang yang dimaksud dia itu ya saya sendiri. Saya diam saja, karena dia tidak tahu. Lama-kelamaan ada yang tahu sendiri, katanya ‘wah kami yang dengan Pak Ganjar ya? Kamu hebat, kamu hebat’,” cerita Badawi yang sebelumnya ditangkap di Klaten tahun 2014 silam.
Badawi sebelumnya sempat berbagi cerita dengan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo di Puri Gedeh Kota Semarang pada Senin 9 Maret 2020 silam. Pada kegiatan yang kemudian dipublikasi media itu, Badawi bercerita tentang kisah lalunya sekaligus tekad untuk ambil bagian mencegah terjadinya terorisme.
Machmudi Hariono alias Yusuf (45) yang juga jadi narasumber kegiatan itu mengatakan pentingnya peran aparatur di lingkungan, tak terkecuali RT, RW ketika ada napiter yang sudah bebas. Salah satunya,
“Mau tidak mau nantinya mereka akan interaksi, misalnya saat mengurus dokumen-dokumen semacam KTP ataupun dokumen lainnya,” kata Yusuf yang juga menjabat Ketua Yayasan Persadani.
Sementara itu, Kanit Idensos Jawa Tengah, mengatakan identifikasi terhadap seseorang yang dilabeli napiter perlu dilakukan. Tidak bisa dipukul rata. Sebab, tak jarang dari mereka ini adalah korban.
“Korban dari amir-amir (pimpinan) mereka yang tidak bertanggung jawab. Fakta di lapangan seperti itu. Saya kira program ini (sosialisasi penguatan RT, RW dan kelurahan/desa) adalah terobosan luar biasa,” kata dia.
Secara umum dia menyebut ada tahapan tersendiri, pertama adalah intoleransi kemudian masuk ke tahap orang menjadi radikal (radikalisme) dan puncaknya adalah terorisme.
Sementara itu, Lurah Manyaran Ta’at, berargumen bahwa mantan napiter dan keluarganya sangat perlu dibantu di tengah masyarakat.
“Sangat perlu demi masa depan anak-anaknya dan tidak ada rasa dikucilkan di masyarakat, tetap kita ajak untuk bergabung dengan warga yang lain,” kata Ta’at.
Kegiatan di Balai Kelurahan Manyaran itu juga diikuti oleh beberapa mahasiswa dari Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, staf kelurahan, aparatur RT dan RW, termasuk personil Bhabinkamtibmas Polri dan Babinsa TNI setempat. Kegiatan ini merupakan program dari Kreasi Prasasti Perdamaian (KPP) yang bersinergi dengan Idensos Polri.
FOTO RUANGOBROL.ID/EKA SETIAWAN
Tiga mantan napiter (dari kiri) Nur Afifudin, Badawi Rochman dan Machmudi Hariono berbagi cerita di Balai Kelurahan Manyaran, Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang, Selasa 28 Juli 2020 siang.
Komunikasi dan Penyiapan Lingkungan Mantan Napiter Cegah Residivisme Terorisme
Analisaby Eka Setiawan 29 Juli 2020 6:18 WIB
Komentar