Anak Teroris dan Teroris Anak, Anak Indonesia yang Terpinggirkan

Analisa

by Rizka Nurul

Hari Anak Nasional yang jatuh tanggal 23 Juli menjadi salah satu selebrasi kehadiran anak sebagai generasi masa depan bangsa ini. Namun hal tersebut belum tentu dirasakan oleh anak teroris ataupun teroris anak di Indonesia. Undang-undang perlindungan anak seringkali melewatkan dua kelompok ini.

Sejauh ini, penanganan trauma untuk anak teroris belum menjadi perhatian khusus. Banyak anak trauma akan penangkapan ayahnya atau bahkan penggeledahan yang dilakukan di rumahnya. Tak hanya itu, mereka juga seringkali mendapatkan stigma dari sekitarnya.

Begitupun dengan teroris anak yang sering mendapatkan diskriminasi sosial. Setidaknya ada 15 teroris anak di Indonesia yang telah selesai dan masih menjadi menjalani hukuman.

Inkonsistensi Penanganan Teroris Anak


Meski angka keterlibatan anak dalam kasus terorisme masih sangat kecil dibanding angka kejahatan lainnya, namun terorisme tetaplah harus menjadi pidana khusus. Pasalnya dalam penanganan terorisme tidak cukup dalam upaya prosekusi atau pengadilan hukum saja. Proses rehabilitasi dan reintegrasi juga menjadi salah satu yang perlu dilakukan.

Lihat Juga : Anak Sebagai Pelaku Terorisme Mestinya Diatur Sanksi Pidana Khusus

Menurut peneliti Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP), Khariroh Maknunah atau Nuna, rehabilitasi maupun deradikalisasi di Lapas hanya bimbingan psikologi dan keagamaan. Keduanya disediakan oleh Lapas dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Namun narapidana teroris anak masih banyak menemui kendala mendapatkan hak pendidikan di dalam lapas.

Nuna melihat belum ada SOP khusus yang mengatur proses disengagement hingga reintegrasi teroris anak. Padahal setidaknya sudah ada 7 mantan narapidana teroris anak yang telah bebas dengan sebaran terbanyak di Kalimantan Timur. Saat ini, YPP tengah menyusun SOP tersebut agar menjadi panduan bagi pamong di Lapas Anak.

Menariknya, dalam proses reintegrasi juga sedikit sembrono. Nuna mencontohkan salah satu mantan napiter anak di Poso yang mendapatkan sejumlah uang untuk memulai usaha. Hal itu karena yang bersangkutan sudah lepas usia anak ketika bebas. Namun uang tersebut kemudian digunakan untuk menyumbang pelatihan militer.

Tak Ada Pilihan


Anak teroris menjadi salah satu korban stigma masyarakat dan media. Sejatinya anak tidaklah dapat memilih dari keluarga mana ia dilahirkan namun kemudian terstigma akibat perilaku orang tua. Banyak anak yang bahkan tak tahu apa yang dilakukan orang tuanya dan tak memahami pemikiran orang tuanya.

Ada dua kasus anak teroris yang menjadi teroris anak dan kemudian digeneralisasi. Anak Imam Samudera, Umar Junduhaq meninggal dunia pada 14 Oktober 2015 di Suriah. Ia bergabung bersama kelompok milisi di Suriah yang diduga merupakan afiliasi Al Qaida. Selain Umar, ada anak narapidana teroris, Syaiful Anam alias Brekele yang juga tewas di Suriah bernama Haft. Haft tewas sebelum mengijak umur 12 tahun pada 2016. Kelas 5 SD ia pindah dari Poso ke Ibnu Masud, Bogor dan kemudian menuju ke Suriah kurang dari 1 tahun.

Keduanya telah mendapatkan pemikiran dari ayahnya sejak dini. Mereka mengetahui senjata dan segala dunia jihad ketika sebelum menjadi siswa sekolah dasar. Hal ini yang mendorong Haft dan Umar menuju Suriah sebagai kombatan.

Selain dua anak tersebut, banyak anak napi teroris yang justru dirundung trauma mendalam. Salah satunya adalah S, anak mantan napiter kasus Bom Buku, H. S sering berteriak jika ketakutan dan bahkan ketika melihat polisi. Ia mengalami trauma berat ketika melihat penggeledahan yang dilakukan pihak keamanan ketika ayahnya ditangkap.

Trauma lainnya juga dialami oleh sebut saja Mila. Mila terlempar dari motor ketika orang tuanya melakukan bom bunuh diri di Polrestabes Surabaya 2018 silam. menurut berbagai sumber, bocah kecil itu mengalami trauma berat atas kejadian yang menimpanya. Saat ini, ia masih tinggal di bawah lingkungan Kementerian Sosial.

Adapula cerita dari Madiun, A anak dari mantan napiter kasus Bom Keduataan Myanmar, Khoirul Ikhwan. A tak pernah tau pemikiran maupun kegiatan ayahnya. Anak laki-laki itu saat ini duduk di bangku SMP. Ia justru berprestasi dalam bidang kesenian teater Jawa hingga tingkat provinsi.

Komentar

Tulis Komentar