Ngatirah (1)

Review

by Amsa Nadzifah

Subuh baru berlalu beberapa menit lalu. Entah mengapa, pagi itu udara rasanya lebih dingin dibandingkan hari-hari sebelumnya. Berselimut sarung, Karjo mulai membersihkan sepeda tuanya. Pada masa itu, sepeda memang masih menjadi kendaraan utama. Orang yang memiliki sepeda hanya orang tertentu saja. Tak heran jika demi kebanggaannya itu, setiap pagi Karjo merelakan waktu membersihkan sepedanya.

“Teh dan pisang gorengnya, Mas,” Ngatirah meladeni suaminya.

“Ya, Dik. Sabtu ini kita ke Prambanan, ya,” Karjo memulai perbincangan dengan istrinya yang dulu adalah muridnya di sekolah. Jarak usia mereka memang bukan hanya setahun dua tahun saja, jika tak salah ingat dan hitung, jarak mereka sekitar empat belas tahunan.

Ngatirah hanya mengangguk, kembali masuk ke dalam rumah, dan mengurusi dapur untuk menyiapkan sarapan suami dan anak-anaknya. Sum, si sulung, sudah terbangun dari tidurnya. Masih mengucek-ucek matanya, ia berjalan menuju dapur untuk membantu simboknya. Dengan tangan kecilnya, ia sangat cekatan mengurus banyak hal secara bersamaan. Tidak perlu disuruh simboknya, ia tahu apa yang harus ia lakukan. Menanak nasi, mengurus kebutuhan kedua adiknya, kemudian ia mandi dan bersiap ke sekolah.

Pagi itu, sebagaimana pagi-pagi sebelumnya, mereka sarapan bersama, meski mungkin mereka hanya satu-satunya keluarga yang memiliki tradisi makan bersama di kampung itu. Karjo, Ngatirah, Sum, dan kedua adiknya sudah duduk di meja makan dan menikmati sarapan tempe goreng, ikan wader hasil tangkapan Karjo semalam, dan nasi. Karjo memanfaatkan momen itu dengan menceritakan keinginannya mengajak mereka semua mengunjungi rumah kakek dan nenek di Prambanan pada Sabtu. Esok lusa. Tentu, anak-anaknya riang bukan kepalang.

Sebagai seorang guru di sekolah menengah pertama, Karjo harus berangkat pagi-pagi sekali, menempuh perjalanan sekitar tujuh kilometer menuju sekolahnya. Pada masa itu, jalan aspal hanya ada di jalan utama dan kota-kota tertentu saja, sebagian besar masih jalan berbatu, termasuk dusun tempat Karjo tinggal maupun daerah tempat Karjo mengajar. Sum berangkat menuju sekolah dasar bersama teman-temannya, mereka masih tingkat pertama. Sedangkan Ngatirah mengurus kedua anaknya yang masih 4 dan 2 tahun. Ia juga merasa ada janin dalam perutnya, perasaan ini muncul karena sudah tiga bulan ia tidak datang bulan. Namun, ia masih belum yakin untuk menceritakan kepada suaminya.

“Boleh lihat kartu identitasnya, Pak?” tiba-tiba saja Karjo dicegat oleh truk yang penuh dengan orang berseragam. Sedikit ragu namun tetap waspada, Karjo turun dari sepedanya dan mengeluarkan kartu identitasnya. Orang-orang yang lewat, berpura-pura tidak melihat kejadian tersebut.

“Bapak, kami amankan terlebih dahulu,” kata salah satu dari orang yang berseragam itu. Tanpa ada perlawanan dan penjelasan, Karjo dipaksa masuk ke dalam truk.

“Ada apa ini, Pak? Bagaimana istri dan anak-anak saya, Pak?”

“Nanti kami akan sampaikan kabar bapak ke keluarga,” jawab orang berseragam yang kini membawa kartu identitas Karjo, sedangkan yang lainnya menyuruh orang yang Karjo kenal sebagai pegawai kecamatan untuk membawa sepedanya.

“Mas .... Mas Agus ... Ada apa ini, Mas?” Agus si pegawai kecamatan berpura-pura tidak mendengar suara Karjo. Karjo tidak sendirian, sudah banyak orang di dalam truk itu.

Kabar pengamanan Karjo menjadi buah bibir satu kecamatan. Desas-desusnya bagaikan merambat dari dinding ke dinding. Melesat begitu cepat dalam keheningan.

“Yu, Mas Karjo, Yu. Mas Karjo,” Karlan, salah satu orang yang melihat Karjo diamankan segera menemui Ngatirah.

“Ada apa?”

“Mas Karjo diamankan.”

Jawaban Karlan membuat Ngatirah termangu. Diamankan? Kenapa? Apakah rumah ini tidak aman sampai harus diamankan?

“Sama siapa?”

“Orang berseragam. Pagi ini di sawah timur desa. Sepertinya mereka sudah menunggu Mas Karjo di sana.” Dugaan Karlan bisa jadi benar, tidak banyak orang yang lewat jalan itu, hanya orang-orang kampung ini yang mungkin masih menggunakan jalan itu.

“Aku harus bagaimana?” Ngatirah meski pernah mengenyam pendidikan sekolah menengah pertama, tapi ia tidak sempat menyelesaikannya. Sebelum selesai kelas pertama, ia menerima pinangan dari Karjo. Sejak Karjo menjadi gurunya maupun menjadi suaminya, Ngatirah tidak banyak bertanya mengenai kegiatan Karjo. Ia hanya tahu, suaminya datang sebagai seorang guru di desa itu dari Prambanan. Ngatirah bahkan tidak tahu di mana Prambanan sampai akhirnya ia diajak berkunjung ke rumah mertuanya.

“Sampeyan ada beras, Yu?” Ngatirah mengangguk menjawab pertanyaan Karlan.

“Bungkus beras itu, tukarkan dengan sepeda Mas Karjo, di kecamatan Yu.”

Bagaikan terhipnotis, Ngatirah mengikuti perintah Karlan. Ia membungkus beras yang mungkin tiga kilo itu, satu sisi dari dirinya ada keraguan, pasalnya beras itu menjadi penyambung hidup dirinya dan anak-anaknya. Namun, jika ia pergi ke kecamatan untuk menebus sepeda suaminya, mungkin ia juga akan tahu kabar diamankan kemana suaminya.

Bergegas, Ngatirah menuju ke kecamatan, dua anaknya ia titipkan kepada Karlan. Ia mencoba bebal mendengar suara tangisan kedua anaknya yang merengek untuk ikut. Kepala Ngatirah hanya dipenuhi oleh berbagai hal tentang Karjo. Ia tidak pernah membayangkan, hal ini terjadi pada dirinya. Saat pergi ke pasar kemarin lalu, ia memang sempat mendengar desas desus tentang kabar Pak Bambang yang diamankan, katanya Pak Bambang masuk dalam golongan merah. Ngatirah tahu, suaminya memang sesekali bertemu dengan Pak Bambang yang juga seorang guru. Baginya itu hal yang wajar, guru bertamu ke guru yang lainnya.

Sesampainya di kecamatan, Ngatirah tidak melihat truk yang disebutkan ciri-cirinya oleh Karlan. Satu dua orang berseragam memang ada, tapi memang mereka setiap hari berjaga. Ngatirah mencoba menemui pegawai kecamatan, namun tidak ada yang mengubrisnya. Hingga akhirnya, ada satu orang yang menerima Ngatirah. Ngatirah menyampaikan maksud kedatangannya, beras ia ulungkan, namun ternyata jawaban dari pegawai kecamatan itu hanya gelengan kepala. Informasi tentang suaminya tidak ia dapatkan, sepeda pun tidak, dan ia bingung karena sisa beras di rumahnya tak seberapa.

---

Selepas kepergian bapaknya yang entah diamankan di mana, Sum memutuskan berhenti sekolah. Alasannya, Sum tidak tahan lagi mendapatkan ejekan sebagai anak dari kaum Abang. Tidak hanya dari teman-temannya namun juga dari guru-gurunya. Selain juga untuk menghemat pengeluaran rumah tangga. Beruntung ada saudara Ngatirah yang berbaik hati, meminjamkan sepetak tanah untuk ia tanami. Ngatirah dengan perutnya yang semakin membesar bersama Sum mengurus ladang itu, ia tanami singkong, jagung, dan berbagai kebutuhan makanan lainnya. Kini, tidak ada lagi nasi lengkap dengan lauk pauk di meja makan, namun itu tak seberapa dibandingkan dengan pertanyaan kedua adik Sum tentang di mana bapak mereka yang tidak duduk makan di tempatnya, yang tidak pulang setelah sekian lama.

Saat perutnya semakin membesar, ada slentingan kabar bahwa orang-orang yang diamankan dibawa ke pusat kota. Mereka menyebutkan sebuah gedung namun tidak sembarang orang bisa memasukinya. Demi menguji kebenaran itu, Ngatirah meminta saudaranya untuk mengantarnya ke pusat kota. Ia siapkan bekal makanan suaminya, sebagaimana hari-hari lalu.

“Mau mencari siapa?” orang berseragam itu bertanya menyelidik kepada Ngatirah.

“Mas Karjo pak, Mas Karjo Guru, pak” Ngatirah tergagap.

Pertemuan itu menjadi pertemuan pertama setelah sekian bulan, Karjo dimata Ngatirah semakin kurus dengan beberapa luka memar terlihat di wajahnya. Ada kaca pembatas yang memisahkan mereka, membuat Ngatirah benar-benar tidak dapat menyentuh Karjo, begitupula sebaliknya. Namun, apalah arti kaca itu dibandingkan bulan-bulan ketika mereka terpisahkan tanpa ada kabar?

“Uwis, aku nggak apa-apa, Mas nggak apa-apa, Dik. Gimana kabarmu dan anak-anak? Kenapa nggak ngasih tahu mas, kalau kamu hamil?” Karjo justru merasa bersalah dengan Ngatirah dan anak-anak mereka. Meninggalkan tanpa pesan, membiarkan Ngatirah berjuang sendirian dengan perut yang semakin membesar. Sungguh, Karjo tidak tega melihatnya. Ngatirah sudah berusaha untuk tegar, namun apa daya, ia tetap menangis melihat kondisi suaminya.

Pertemuan pertama itu, tidak banyak kata yang terucap, perbincangan dari hati ke hati dari mata ke mata. Hanya mereka yang mengerti. Ngatirah menyerahkan bekal makanan yang telah ia siapkan melalui lubang kecil yang ada di kaca pembatas itu. Baginya, bekal itu yang menjadi simbol kerinduan dan segala perasaan yang berkecamuk di hatinya.

Kunjungan itu rasanya hanya sesaat, begitu singkat. Tiba-tiba saja orang berseragam telah datang dan kembali membawa Karjo.

Karjo menangis sesegukan di pojok ruangan yang penuh jeruji itu, ia tidak tahan ketika mendapati surat dari Ngatirah yang terselip di dasar makanan. Sehingga orang-orang yang berseragam tidak mengetahui surat itu. Tulisan Ngatirah masih rapi seperti ketika masih menjadi muridnya dulu, mungkin itu juga yang menjadi alasan ia memilih Ngatirah sebagai istrinya. Sebenarnya surat Ngatirah hanya berisi kata-kata sederhana. Mengabarkan tentang Sum, dan dua adiknya, tentang kehamilan Ngatirah sendiri, yang membuat Karjo menangis adalah bagian terakhir surat itu.

“Mas Karjo, mas, beberapa minggu lalu ada satu dua orang datang ke rumah. Mereka bilang, jenengan sudah pergi dan nggak akan kembali lagi, Mas. Maksud kedatangan mereka sebenarnya ingin menjadikan adik, istri dari mereka, Mas. Mereka bilang, mereka kasihan melihat adik membesarkan anak-anak sendirian dan hamil. Tapi adik masih berdoa, anak-anak juga adik minta berdoa, agar jenengan bisa pulang ke rumah ini lagi. Adik masih nunggu jenengan mas. Kemarin, sekarang, dan besok, adik nunggu jenengan.”

Itu bukan sekedar surat cinta dari seorang kekasih yang kasmaran. Ini sebuah pernyataan dari seorang yang selama ini lebih banyak diam. Terlebih bagi Karjo yang menyadari semuanya serb sulit baik bagi dirinya maupun istri dan anak-anaknya. Karjo semakin menangisi semuanya, mengingat beberapa hari ke depan, entah kapan, katanya ia akan dipindahkan ke pulau lain bersama yang lainnya. Meski hingga hari itu, Karjo tidak pernah tahu apa yang membuatnya diamankan. Ia juga tak pernah tahu, apakah ketika ia pergi ke Pulau lain itu, ia masih akan memenuhi harapan istri dan anak-anaknya untuk pulang kembali ke rumahnya? Apakah ia masih akan bertemu dengan istri dan anak-anaknya?

Komentar

Tulis Komentar