Lembaga Bantuan Hukum (LBH) DKI Jakarta mendesak Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan untuk mencabut atau merevisi Surat Keputusan (SK) Kepala Dinas Pendidikan nomor 501 tahun 2020. SK tersebut tentang Petunjuk Teknis (Juknis) Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2020/2021. Menurut LBH SK tersebut bertentangan dengan Peraturan Menteri Nomor 44 Tahun 2019 tentang PPDB dan peraturan yang lebih tinggi lainnya.
Menurut LBH PPDB DKI Jakarta khususnya untuk SMP dan SMA memang menggunakan jalur zonasi dan jalur lainnya sebagaimana dimandatkan dalam Permendikbud 44/2019. Namun terdapat ketentuan yang menyebutkan “Dalam hal jumlah Calon Peserta Didik Baru yang mendaftar dalam jalur tersebut melebihi daya tampung, maka dilakukan seleksi berdasarkan, usia tertua ke usia termuda, urutan pilihan sekolah dan waktu mendaftar”.
“Hal inilah yang memicu kekacauan karena pada akhirnya banyak yang tidak diterima di sekolah yang dekat dengan rumah dan kemungkinan besar akan diterima di sekolah yang jauh jaraknya dari rumah.” Demikian bunyi keterangan pers LBH Jakarta
LBH menilai prinsip dari Permendikbud 44/2019 adalah mendekatkan domisili peserta didik dengan sekolah. Faktor usia peserta didik yang lebih tua baru menjadi faktor yang dipertimbangkan ketika terdapat kesamaan jarak tinggal calon peserta didik dengan sekolah. Akibatnya nanti peserta didik akan bersekolah di tempat yang jauh dari rumah dan hal tersebut akan berdampak pada waktu yang dihabiskan di jalan dan ongkos sehari-hari yang memberatkan.
“Mengenai kuota LBH menilai Pemprov DKI Jakarta yang mengatur kuota minimum jalur zonasi sebesar 40 persen tidak sesuai dengan Permendikbud 44/2019 yang mengatur 50 persen. Penurunan kuota ini tidak sesuai dengan semangat penerapan sistem zonasi,”
Ketiga, mengenai prioritas tahapan. Dalam Permendikbud 44/2019, diatur bahwa untuk jalur zonasi, afirmasi dan perpindahan tugas orang tua terdapat kuota tertentu yang harus dipenuhi. Adapun untuk jalur prestasi, prinsipnya pemerintah daerah dapat membuka jika masih terdapat sisa kuota. Mengacu pada ketentuan tersebut, penentuan prioritas tahapan PPDB DKI 2020 menjadi aneh ketika pelaksanaan jalur prestasi non akademik (15 Juni) dilakukan mendahului jalur zonasi (25-25 Juni). Hal ini sekali lagi tidak sesuai dengan semangat sistem zonasi yang seharusnya diutamakan.
“Jika dilihat rumuan normanya, ketentuan dalam Permendikbud 44/2019 bukan ketentuan yang dapat disimpangi oleh Pemerintah daerah sebab mengatur ketentuan dasar/minimal. Dalam hal ini, Pemprov DKI selain melanggar ketentuan dasar, sejatinya juga tidak konsisten dengan tujuan pelaksanan sistem zonasi,” lanjut LBH
Selain itu LBH menilai Pemprov DKI Jakarta tidak memberikan ruang partisipasi sebelum pelaksanaan kebijakan ini, sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Hal ini tidak sesuai dengan ketentuan di dalam UU Sisdiknas yang menyebutkan masyarakat harus dijamin haknya untuk berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan.
“Ke depan, partisipasi dan penyampaian informasi yang layak wajib dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta demi kelancaran pelaksanaan dan kepentingan terbaik peserta didik,” imbuh LBH lagi
Lebih lanjut LBH meminta Pemerintah harus mengevaluasi pelaksanaan sistem zonasi agar tujuan pelaksanaannya tercapai dan tidak menjadi polemik tahunan. Menurut LBH Sistem zonasi jika diterapkan secara konsisten dapat berdampak baik untuk menciptakan keadilan akses pendidikan. Selain mendekatkan lingkungan sekolah dengan lingkungan keluarga peserta didik, sistem ini dapat menghapuskan paradigma “unggulan” yang selama bertahun-tahun menciptakan kesenjangan layanan pendidikan.
Karena itu LBH Jakarta berpandangan bahwa Menteri bersama Gubernur sebagai penanggung jawab kebijakan di level nasional dan provinsi harus mengevaluasi pengaturan dan pelaksanaan sistem zonasi yang telah diterapkan sejak 2017. Pemerintah harus konsisten menerapkan aturan zonasi dan tidak mencampur adukan faktor-faktor lain seperti nilai maupun tingkat ekonomi yang tidak sejalan dengan tujuan zonasi.
“Problem yang selalu muncul dalam pelaksanaan zonasi sejak 2017 adalah persebaran sekolah yang tidak merata dan infrastruktur yang tidak memadai. Oleh karena itu, Pemerintah juga harus memastikan pemerataan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana sekolah dan tenaga pengajar,” pungkas LBH