Sejak diumumkannya wfh karena pandemi covid 19 pada pertengahan 16 maret lalu, banyak kegiatan yang berhubungan dengan orang banyak atau tatap muka ditiadakan. Semua dilakukan dari rumah atau online. Sehingga tidak sedikit orang yang harus di rumahkan, gaji dipotong bahkan sampai kehilangan pekerjaan.
Nah, yang biasanya dua minggu sekali saya dan keluarga mengadakan kunjungan ke lapas untuk membesuk ayah. Karena wfh, jadi gak bisa lagi deh. Saya dengar, ada beberapa lapas yang menyediakan video call via zoom antara keluarga dengan napi atau warga binaan di dalam. Wah, seru banget ya … Silaturahmi tetap terjalin. Walaupun begitu, kehangatan antar video call dengan bertemu langsung pasti rasanya berbeda. Rasanya ada yang kurang gitu.
Karena sedang pandemi gini, suasana ramadhan dan idulfitri sangat jelas berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Bagi kami, idulfitri tahun ini seperti di tahun 2017 dan 2018. Karena tidak dapat berkumpul dengan ayah dan keluarga lainnya. Kalau di tahun 2019, alhamdulillah kami bisa berkunjung ke lapas sambil makan es buah (sobat ngobrol bisa baca kisahnya di sini)
Pihak lapas tau banget deh, keluarga dari para napi atau warga binaan pasti rindu banget sama keluarganya di dalam. Karena kan udah dua bulan gak bisa ketemu langsung. Akhirnya, di saat idulfitri lapas mengizinkan kami bersilaturahmi lewat zoom. Gak papalah, yang penting bisa ngobrol banyak hal lewat layar di waktu idulfitri.
Selain itu, ditiadakannya kunjungan juga berdampak bagi teman-teman saya yang rutin kunjungan pendampingan para napi. Dan Untuk pertama kalinya saya kunjungan ke lapas pada awal maret harus terhenti sementara karena pandemi. Saya sempat diajak oleh seorang peneliti perempuan untuk kunjungan ke salah satu lapas di Jabodetabek bertemu dengan seorang napiter. Padahal baru pertama kali, lho.
Kunjungan ke lapas dalam rangka pendampingan sudah sejak lama saya dambakan. Karena saya ingin bisa membantu mereka untuk keluar dari jaringan lama mereka. Kunjungan rutin, berinteraksi dengan para napiter merupakan cara yang cukup efektif untuk menarik mereka keluar jaringan, dan saya sudah banyak mendengarkan langsung kisah-kisah seperti itu. Seperti dari rekan saya di Nigeria yang turun langsung ke lapangan menemui kelompok boko haram untuk mengetahui alasan mereka bergabung ke kelompok kekerasan, dan kisah dari Ibu peneliti yang mengajak saya. Beliau sudah lama melakukan pendampingan ke para napiter sejak mereka masih di dalam lapas bahkan ketika mereka sudah bebas, silaturahmi masih berjalan. Mulai dari ngobrol, diskusi, membantu kebutuhan mereka dapat menciptakan sebuah bonding atau ikatan rasa saling percaya. Apalagi saya punya privilese pernah terjerumus ke jaringan juga. Saya gak mau ada orang yang kena lagi dan saya harap dengan apa yang saya punya dan bisa untuk membantu mereka keluar dari jaringan. Selain itu, jangan sampai yang mendekati mereka adalah orang-orang dari kelompok lama sehingga mereka makin sulit untuk berubah. Harus ingat, hal ini membutuhkan proses yang tidak sebentar.
Makanya saya sempat sedih sih, ketika harus terhenti sementara karena pandemi ini.
Berdasarkkan yang saya lihat, mereka ini sangat butuh teman untuk ngobrol baik yang receh maupun serius, berbagi suka dan duka, dukungan,dan lain hal.
Semoga pandemi segera berakhir, jadi kita semua bisa melanjutkan kegiatan pendampingan, berinteraksi, dan tatap muka dengan mereka lagi.