Baru Tiga Hari Bebas Penjara Jaringan Lama Coba Kembali Merekrut Saya

Analisa

by Eka Setiawan

Mantan terpidana terorisme (napiter) yang baru bebas rentan direkrut jaringan lamanya sehingga berpotensi menimbulkan residivisme. Sebab itu, peran aktif masyarakat dan pemangku kepentingan terkait, termasuk pihak kelurahan maun desa, pihak RT ataupun RW diperlukan untuk mencegahnya. Mengucilkan mantan napiter hingga perlakuan diskriminatif kepada mereka rentan menyebabkan reintegrasi sosial tidak berjalan dengan baik.

Hal itu dibahas dalam pertemuan antara Lurah Manyaran Kota Semarang Ta’at, Kanit Idensos Jateng, perangkat kelurahan dan warga termasuk ketua RW dan RT, Senin (29/6/2020) siang di Balai Kelurahan Manyaran Kecamatan Semarang Barat Kota Semarang.

Aktifnya jaringan lama untuk kembali merekrut napiter yang baru bebas ini diceritakan Machmudi Hariono alias Yusuf.

“Tiga hari setelah saya bebas, yang datang pertama kali menemui saya itu jaringan (terorisme), bukan pihak RT ataupun RW. Mereka ingin merekrut saya lagi, bahkan paparan sampai 1 hingga 2 jam,” kata Yusuf yang kini menjadi Ketua Yayasan Putra Persaudaraan Anak Negeri (Persadani), yayasan yang menaungi mantan-mantan napiter di Jawa Tengah.

Yusuf asli Jombang, Jawa Timur, pernah tersangkut kasus terorisme pada tahun 2003 silam dan menjalani hukuman berpindah di sejumlah penjara, termasuk di Nusakambangan.

Pada kegiatan di Kelurahan Manyaran itu, Yusuf berbagi cerita agar tidak ada penolakan, diskriminasi dan pengucilan ketika ada napiter yang bebas dari warga.  Kegiatan itu juga dalam rangka persiapan reintegrasi sosial, menjelang bebasnya napiter bernama Angga Irawan yang merupakan warga Manyaran Semarang Barat. Angga yang sempat jadi PNS di RSUD Kendal ini dijadwalkan bebas pada 12 Agustus 2021, saat ini masih ditahan di Lapas Cipinang Jakarta. Angga sebelumnya ditangkap Densus88 Antiteror Polri pada Sabtu 4 Agustus 2018.

“Mudah-mudahan nanti Angga tidak (terekrut kembali jaringan lama). Rata-rata teroris itu merekrut orang terdekat, bisa orangtua, suami/istri, anak-anak, kalau gagal baru merekrut orang di luar anggota keluarganya,” lanjut Yusuf.

Kanit Idensos Jateng sendiri mengemukakan sinergi antara masyarakat umum dengan pemangku kepentingan terkait sangat diperlukan untuk menciptakan iklim yang baik, salah satunya untuk mencegah residivisme seorang mantan napiter.

“Sebab penangkapan dan pemenjaraan di lapas belum tentu efektif menimbulkan efek jera, perlu sinergi bersama untuk kebaikan kita semua, jangan diskriminasi, jangan mata-matai, tapi mari kita rangkul dengan kegiatan positif,” ajaknya.

Dia mengatakan, para napiter yang ada saat ini sebagian besar merupakan korban dari para perekrut dengan propagandanya.

“Ada yang korban karena fasilitasi hingga membiayai. Mereka sebagian besar adalah korban,” lanjutnya.

Dia merinci, di Jawa Tengah jumlah mantan napiter ada 145 orang, di antaranya ada di Kota Semarang dengan jumlah 30 hingga 40 orang, terbanyak di wilayah Solo Raya 89 orang.

Sementara napiter di Jawa Tengah terbanyak ditahan di Nusakambangan berjumlah 223 orang tersebar di 6 lapas termasuk yang terbaru Lapas Karanganyar Nusakambangan, dan ada di beberapa daerah lain mulai dari Lapas Tegal, Kendal hingga Semarang.

Dia juga mencontohkan kasus teranyar dengan tersangka TR (22) seorang sarjana elektro tinggal di wilayah Kota Semarang, ditangkap Densus 88 pada April 2020 lalu. TR diduga kuat mulai terpapar radikalisme/terorisme ketika praktik kerja lapangan (PKL) di salah satu lembaga negara di Jakarta. Terdoktrin seseorang untuk berjihad dalam pemahaman sempit, hingga berencana melakukan aksi dengan kelompoknya di Ambon. TR bahkan sudah menyiapkan sejumlah bahan untuk dibuat menjadi bom.

“Ideologi susah dihapus, tapi pelan-pelan pasti bisa. Ini dibutuhkan sinergi bersama, banyak faktor yang mendasari seseorang jadi radikal,” paparnya.

Sementara, Lurah Manyaran Kota Semarang Ta’at mengatakan pihaknya tentu mendukung penuh langkah sinergi bersama ini. Namun, informasi dan pengetahuan tentang apa itu terorisme/radikalisme termasuk bahayanya, cara deteksinya hingga pencegahannya, tentu dibutuhkan.

“Perlu sosialisasi hingga lingkup RT/RW,” kata Ta’at.

Terkait Angga, Ta’at membenarkan jika dia merupakan warga di kelurahan yang dipimpinnya. Dia sendiri bersama perangkat kelurahan hingga struktur ke bawah baik RW maupun RT, ingin berperan aktif mencegah residivisme terorisme.

“Sama-sama warga negara Indonesia (WNI) tentu tidak ada diskriminasi, dan tidak akan dikucilkan,” tandasnya.

 

FOTO RUANGOBROL.ID/EKA SETIAWAN

Kegiatan di Balai Kelurahan Manyaran Kecamatan Semarang Barat Kota Semarang, Senin (29/6/2020).

 

 

Komentar

Tulis Komentar