Bicara tentang tunangan, bagi manusia yang hidup di belahan dunia mana pun, menjadi momentum besar yang tidak akan terlupa sepanjang hidup. Masuk dalam catatan sejarah, sejarah hidup bagi masing-masing tentunya.
Namun, apa jadinya jika momentum yang harusnya bertabur romansa tersebut terpaksa ditunda untuk sesuatu yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Lebih menyedihkannya, harus menunggu hingga waktu yang tak pasti.
Tulisan kali ini, sedikit saya ingin bercerita tentang bagaimana rasanya menjalani proses tunangan, hingga terpaksa ditunda karena merebaknya wabah pandemi Covid-19.
Meski kisahnya agak-agak mirip drama telenovela, namun yakinlah bahwa ceita ini benar adanya, tanpa dibuat-buat.
Sebut saja Budi, laki-laki 30-an tahun asal kampung di ujung pulau Jawa. Lelaki cupu nan katrok ini datang pertama kali ke ibu kota untuk menuntut ilmu di salah satu universitas swasta sejak tahun 2012 silam. Lagi-lagi, mimpi dan bayang-bayang kemewahan kehidupan kotalah yang membawa lelaki serba tanggung dan kampungan ini merantau hingga ibu kota.
Jika cinta itu misteri, jodoh pun demikian adanya, tak jauh berbeda. Ia menemukan tambatan hatinya saat menimba ilmu di ibu kota, sesuatu yang belum terbayangkan olehnya sebelumnya. Maklum, jatuh cinta dengan gadis kota dan dibalas, itu persis seperti beauty and the beast. Jika cinta itu buta, maka inilah contohnya.
Dan setelah bertahun-tahun lamanya hidup dalam kebimbangan, lelaki ini pun menyampaikan niatnya untuk melamar sang gadis yang selama ini dipacarinya. Hidup tanpa cinta, bagai taman tak berbunga. Aduhai, begitulah kata para pujangga.
Maka betapa senang tak terkira. Segala sesuatunya sudah dipersiapkan dengan baik. Mulai dari siapa yang nanti akan ditunjuk sebagai wali, rekan-rekan yang akan diundang, pun keluarga dari Jawa sudah siap untuk diberangkatkan. Berbagai riasan, rencana dekorasi kediaman sang calon mempelai, hingga roti buaya pun tak ketinggalan. Paling tidak, butuh waktu sebulan untuk mempersiapkan segala sesuatunya.
Tanggalnya pasti, Minggu, 22 Maret 2020. Setiap orang yang dikenalnya sudah diberitahu akan berita ini. Sesuatu hal yang baik, apa salahnya jika dibagi-bagi meski niat sebenarnya adalah berharap bisa dapat angpaw lebih.
Ladalah, tepat seminggu sebelum hari H, acara tunangan yang sudah direncanakan jauh-jauh hari, terpaksa harus batal. Nggapleki tenan, kadung pamer sana-sini, ternyata tidak jadi. Apalagi keluarga di kampung, mimpi untuk melihat monas sirnalah sudah. Apa mau dikata, semua ini gara-gara corona. Kalau saja dia wujudnya manusia, rasa-rasanya ingin nonjok mukanya.
Sempat kepikir saat itu untuk membatalkan acara tersebut dan pindah ke lain hati, namun Budi merasa tak sanggup memikirkan hidup tanpa sang pujaannya.
Kalau kata sang maestro, The Lord Didi, ditinggal pas sayang-sayange, pas lagi jeru-jerune, kowe milih dalan liyane. Maunya sih begitu, memilih jalan lain daripada harus menunggu waktu yang tak pasti. Namun apa daya jika sudah terlanjur sayang, rasanya susah untuk berpaling dan pindah ke lain hati.
Memang sih, putus pacaran dengan batal tunangan rasanya beda jauh sekali. Dinamika pacaran kalau tidak putus, ya selingkuh-menyelingkuhi. Namun batal tunangan karena wabah corona, seumur-umur baru kali ini terjadi.
Tapi apa pun yang terjadi, hidup harus tetap terus berjalan bukan? Meski pedih, toh segala sesuatunya sudah jadi suratan Tuhan dan manusia hanya menjalani.
Hingga sebulan pasca dibatalkannya acara tunangan tersebut, sebuah ide muncul. Tidak ada suatu peristiwa yang terjadi di seluruh dunia ini melainkan menyimpan sebuah makna besar di dalamnya. Dan ketika wabah virus ini datang, kenapa tidak mencoba untuk berdamai dan memanfaatkan? Dan jika kita jeli, sebetulnya banyak peluang yang bisa dimainkan. Salah satunya adalah tunangan low-budget.
Sejak kebijakan physical distancing dan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dibuat, masyarakat dilarang melakukan kegiatan bepergian keluar kota, beraktivitas keluar rumah termasuk ibadah hingga acara kumpul-kumpul dalam jumlah besar.
Jadinya, mumpung kebijakan tersebut belum dicabut, Budi segera memanfaatkan peluang dengan mengadakan kembali acara tunangan. Kali ini, tanpa mendatangkan keluarga dari Jawa, tanpa mengundang banyak orang yang mengharuskan acara makan-makan. Jika ada yang komplen, cukup saja bilang bahwa pemerintah masih melarang acara kumpul-kumpul meski sebenarnya itu hanya tricky dan alibi belaka. Dan acara pun berlangsung penuh suka cita, meski dibuat ala kadarnya.
Yakinlah, bahwa trik ini bisa diadopsi oleh anda-anda yang ingin tunangan atau menikah tapi dana cekak. Jika nanti kehidupan sudah kembali normal, jangan coba-coba berpikir untuk membuat acara low-budget seperti ini, apalagi hendak meminang gadis kota dengan modal ala kadarnya kecuali anda siap dihujat dan menjadi bahan omongan tetangga.