Pimpinan Pusat Muhammadiyah secara tegas menolak Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Pasalnya, berdasarkan kajian Tim Muhammadiyah, materinya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan sejumlah Undang-undang. Terutama Undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Karena itu, Muhammadiyah berpendapat RUU HIP tidak terlalu urgen dan tidak perlu dilanjutkan pembahasannya.
“Secara hukum kedudukan dan fungsi Pancasila sebagai Dasar Negara sudah sangat kuat. Landasan Perundang-undangan tentang Pancasila telah diatur di dalam TAP MPRS nomor XX/1966 juncto TAP MPR nomor V/1973, TAP MPR nomor IX/1978, dan TAP MPR nomor III/2000 beserta beberapa Undang-undang turunannya sudah sangat memadai,” kata
Sekretaris Umum Abdul Mu’ti dalam Konferensi Pers di Jakarta, Senin (15/6/2020)
Menurut Mu’ti dalam pasal 5 (e) UU 12/2011 disebutkan bahwa pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas kedayagunaan dan kehasilgunaan. Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Selain itu rumusan Pancasila sebagai Dasar Negara adalah sebagaimana yang disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945. Di dalam UU 12/2011 disebutkan bahwa Pancasila adalah sumber segala sumber hukum. Sedangkan UUD 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan. Karena itu Pancasila dengan sila-sila yang ada di dalamnya mengandung nilai-nilai fundamental yang tidak dapat dan tidak seharusnya diubah atau ditafsirkan ulang karena berpotensi menyimpang dari maksud dan pengertian yang sebenarnya serta melemahkan kedudukan Pancasila sebagai Dasar Negara.
“Memasukkan Trisila dan Ekasila maupun Ketuhanan yang berkebudayaan ke dalam pasal RUU HIP dengan alasan historis pidato Soekarno 1 Juni 1945 sama dengan mereduksi Pancasila rumusan final pada 18 Agustus 1945, serta mengundang kontroversi dengan mengabaikan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 sebagai satu kesatuan rangkaian proses kesejarahan,” jelas Mu’ti
Menurut Mu’ti kontroversi akan berkembang jika Trisila dan Ekasila maupun Ketuhanan yang berkebudayaan dimasukkan dengan alasan historis. Maka 7 kata dalam Piagam Jakarta juga dapat dimasukkan ke dalam pasal RUU HIP dengan alasan historis yang sama.Di dalam RUU HIP terdapat materi-materi tentang Pancasila yang bertentangan dengan rumusan Pancasila sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya pada Bab III.
Lebih lanjut Mu’ti juga menjelaskan di dalam RUU HIP terdapat banyak materi yang menyiratkan adanya satu sila yang ditempatkan lebih tinggi dari sila yang lainnya. Termasuk yang mempersempit dan mengesampingkan rumusan final sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Materi-materi yang bermasalah tersebut secara substantif bertentangan dengan Pancasila yang setiap silanya merupakan satu kesatuan yang utuh. Hal tersebut juga bertentangan dengan asas kesesuaian antara jenis, hirarki, dan materi muatn.
“Sebagaimana diatur dalam pasal 5 (c) UU 12/2011 yang di dalam penjelasannya disebutkan bahwa pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hirarki Peraturan Perundang-undangan,” jelasnya
Masih kata Mu’ti, RUU HIP mendapatkan penolakan dari berbagai elemen masyarakat. Jika pembahasan dipaksakan untuk dilanjutkan berpotensi menimbulkan kontroversi yang kontra produktif dan membuka kembali perdebatan dan polemik ideologis dalam sejarah perumusan Pancasila yang sudah berakhir dan harus diakhiri setelah tercapai kesepakatan luhur, arif dan bijaksana dari para pendiri bangsa.
“Kontroversi RUU HIP akan menguras energi bangsa dan bisa memecah belah persatuan, lebih-lebih di tengah negara dan bangsa Indonesia menghadapi pandemi Covid-19 yang sangat berat dengan segala dampaknya.”
Menurutnya Mu’ti dalam situasi Pandemi Covid-19 diperlukan situasi dan kondisi yang aman dan persatuan yang kuat. Dalam hubungannya dengan Pancasila, yang sangat penting dilakukan dan diperkuat adalah melaksanakan Pancasila dan nilai-nilai yang ada di dalamnya dalam kehidupan pribadi, berbangsa, dan bernegara. Seluruh institusi kenegaraan di eksekutif, legislatif, yudikatif dan lembaga-lembaga resmi pemerintahan lainnya semestinya berkonsentrasi penuh dan saling bersinergi untuk menangani pandemi Covid-19 dan segala dampaknya secara serius dan optimal.
Karena itu Muhammadiyah mendesak DPR untuk lebih sensitif dan akomodatif terhadap arus aspirasi terbesar masyarakat Indonesia yang menolak RUU HIP dengan tidak memaksakan diri melanjutkan pembahasan RUU HIP. DPR maupun pemerintah dengan kewenangan yang dimilikinya memang secara politik dapat menetapkan atau memutuskan apapun dengan mengabaikan aspirasi publik. Tetapi politik demokrasi juga meniscayakan checks and balances serta agregasi aspirasi dan kepentingan rakyat sebagai perwujudan jiwa dan semangat gotong royong dan permusyawaratan.
“DPR, Pemerintah dan bangsa Indonesia hendaknya tidak mengulangi kesalahan sejarah tersebut, karena jelas bertentangan dengan Pancasila dan merugikan kepentingan seluruh hajat hidup bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-cita nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengimbau agar semua pihak di tubuh bangsa tetap tenang dan memupuk kebersamaan dalam semangat Persatuan Indonesia,” pungkasnya