Datang Acara Reuni Tapi Dicuekin?

Analisa

by Eka Setiawan

Curhatan seorang warganet tentang “sakit hatinya” mengikuti reuni sekolah sempat viral di media sosial. Intinya, reuni itu bukannya ajang merekatkan diri dengan teman-teman lama, malah menciptakan sekat sosial tersendiri. Dia akhirnya pulang lebih awal, merasa tak “sekasta” dengan peserta reuni lainnya.

Cerita seperti ini, mirip dengan yang saya alami. Saya lupa tepatnya, mungkin sekira 10 tahun lalu ketika ada reuni salah satu SMP di Kota Tegal, tempat saya bersekolah dulu. Saya juga lupa, kalau nggak salah sih ketika itu saya masih semester akhir (menghindari diksi: nggak lulus-lulus hehehe) kuliah di Universitas Diponegoro (Undip) Semarang atau ya awal-awal saya bekerja jadi wartawan.

Reuni ketika itu diadakan beberapa hari setelah Lebaran, tempatnya ya di sekolahan kami. Saya datang berboncengan sepeda motor dengan karib saya yang ketika itu sudah bekerja di Markas Besar Polri.

Di awal-awal kami datang, memang terkesan enak. Tapi lama-lama, ooops kok malah jadi orang asing hehehe. Beberapa kawan yang datang sudah berpenampilan parlente, karena kerjanya sudah luar biasa (khususnya soal gaji).

Ada pula kawan yang memang tak berubah penampilannya, seingat saya dulu satu sekolahan dengannya, meskipun saya tahu dia ini sudah bekerja dengan gaji yang lumayan, tapi memilih tetap berpenampilan sederhana.

Obrolan pun terjadi di antara peserta reuni, tetapi saya merasa kok terkesan nge-gap sendiri-sendiri. Bukannya membaur, tapi malah berkumpul dengan yang kira-kira “sekasta” lah. Misalnya; ada yang sudah jadi dokter, ya kumpulnya dengan yang seprofesi saja ketika reuni, pegawai ya dengan pegawai, yang nggak lulus-lulus ya dengan sesamanya, bahkan yang pengangguran ya dengan pengangguran.

Saya sempat mencoba berbaur dengan semuanya, tapi eh rasanya kok malah seperti dicuekin, ikut nimbrung seperti dianggap angin lalu, lama-lama nimbrung malah salah tingkah sendiri, akhirnya kabur saja lah menepi, tongkrong dengan yang “senasib”. Sampai akhirnya di ujung acara reuni, yang menurut saya hanya kebanyakan haha hihi, adalah sesi foto bersama.

Wah celaka lagi ternyata moment ini. Entah dari mana asalnya, siapa provokatornya, malah ada yang bilang begini: “Ayo yang kuliah di Jogja kita foto bareng”, “Ayo yang kerja di Jakarta kita foto bareng”, dan sebagainya.

Menyebalkan sih, tapi mau gimana lagi. Sampai akhirnya ada satu kawan nyeletuk “Ayo yang pengangguran foto bareng” kali ini celetukan kawan saya mendapat dukungan paling besar, selain riuh rendah teriakan, juga ternyata yang mau foto juga paling banyak. Saya tahu, di antara mereka banyak juga yang sudah kerja enak, tapi memilih “identitasnya” ketika itu sebagai pengangguran.

Alasannya jelas macam-macam; bisa jadi kesindir, atau memang menghormati kawan lain yang belum beruntung soal pekerjaan, atau mungkin ada alasan lainnya.

Setelah reuni selesai, saya masih sempat nongkrong bersama beberapa kawan. Membahas kejadian tadi. Beberapa memang agak kecewa; ajang silaturahmi apalagi momen Lebaran, ternyata malah tujuannya nggak sampai. Bukannya senang-senang, malah ada yang menggerutu karena soal “kasta baru” tadi.

Ah, berkumpul kawan lama memang menyenangkan, tapi seharusnya: “Apapun yang terjadi sekarang, kita tetap berkawan”.

Falsafah Jawa tentang reuni sebagai ngumpulke balung pisah (mengumpulkan tulang-tulang yang terpisah) kan seharusnya saling melengkapi biar jadi satu kesatuan kuat, saling bantu jika ada kawan berkesusahan, bukan malah berkumpul untuk tercerai-berai.

 

ilustrasi: pixabay.com

 

 

 

 

 

 

Komentar

Tulis Komentar