Twitter kini tak lagi merekomendasikan akun Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Akun yang memiliki 81,9 Juta pengikut tersebut ‘diboikot’ oleh twitter. Beberapa twitnya dianggap melanggar aturan terkait membenarkan kekerasan dan diskriminasi rasial. Hal ini terjadi pada 29 Mei lalu.
Ini bukan kali pertama Trump mendapat peringatan dari Twitter. Beberapa waktu sebelumnya, Trump berkicau mengenai surat suara yang mungkin dicuri dan balotnya dicetak ulang secara ilegal pada Pemilu AS 2020 mendatang. Twitter dengan cepat menambahkan tanda di bawah twit tersebut ‘Get the fact about mail in ballots’ (Dapatkan fakta soal balot kotak pos).
Respons Trump tentu tidak baik-baik saja. Ia langsung mengatakan bahwa media sosial sebenarnya tak begitu penting bagi pendukung Partai Republik. Sebagai penguasa, ia tentu bisa saja mengatur regulasi bahkan menutup platform media sosial.
Snapchat juga melakukan hal yang sama kepada akun-akun pengikut Trump dan partai republik yang dianggap sangat rasis. Padahal Snapchat menjadi andalan bagi partai ini untuk menggaet banyak pemilih pada pemilu 2020.
Sedangkan Facebook dan Instagram dua hari lalu telah memblokir banyak video kampanye Donald Trump yang melanggar aturan anti rasisme dan diskriminasi. Video empat menit tersebut dianggap menghasut kekerasan dan adapun twitter mengklaim ada pelanggaran hak cipta.
Platform besar seperti Facebook, Twitter, Snapchat, Youtube ataupun Instagram memiliki kebijakan anti diskriminasi. Setidaknya ada 30 konten yang dilarang di Facebook dan Instagram seperti diskriminasi, obat-obatan, senjata, klaim penyesatan dan yang lainnya (selengkapnya : Konten dilarang di Facebook). Begitu pula dengan twitter yang memiliki aturan anti kekerasan dan diskriminasi (selengkapnya: Aturan Twitter)
Penggunaan media sosial yang mudah membuat kita sering menggampangkan peraturannya. Padahal apa yang kita sebarkan bisa saja berdampak luas terhadap orang lain bahkan mengundang aksi kekerasan. Ini juga yang sering terjadi pada kasus-kasus terorisme.
Sebagai contoh, seorang narapidana teroris anak meyakini kebenaran untuk melakukan kekerasan kepada orang yang berbeda agama hanya karena kasus Facebook. Anak sekolah menengah atas tersebut juga mendapatkan kebencian terhadap agama tertentu bahkan pemerintah dari media sosial. Bahkan konten-konten yang ada mengenai agama tersebut justru memicu kebencian yang semakin dalam meski bukan konten kekerasan.
Jika seorang Donald Trump saja diboikot oleh platform besar, apalagi dengan kita? Penggunaan media sosial perlu kita gunakan dengan bijak dan cerdas karena pada dasarnya media sosial adalah ruang publik.