Pemahaman makna jihad cukup mendasari seseorang untuk berbuat tindakan yang dianggap sebagai bentuk perjuangan atas dasar alasan pembelaan agama, ia membawa seseorang pada bentuk tindakan nyata yang terkadang hanya bisa dipahami oleh nalarnya saja. Hal ini cukup membuat sebuah keyakinan tumbuh begitu kuat dan mampu menimbulkan suatu tindakan yang tidak masuk akal serta berlebihan.
Kondisi ini berpengaruh besar pada suasana psikologis seseorang yang membawa keyakinan teguh akan makna jihad yang diyakininya sesuai pola pemikirannya yang kadang dimaknai sangat dangkal. Pengaruh ini tidak hanya mempengaruhi diri pribadinya saja, namun orang-orang terdekatnya dan keluarganya, sehingga dalam pola kehidupan sehari-harinya pun sudah terlihat berbeda jika dibandingkan pola kehidupan keluarga pada umumnya.
Nuansa kehidupan beragama pun terasa sangat kental dan kuat mewarnai kehidupannya sehingga cukup menimbulkan kesan positif dan simpatik dari lingkungan sekitarnya. Namun nuansanya akan sangat berbeda sekali ketika terjadi penangkapan terduga teroris yang sangat over reaktif pada proses pengerebekan dan penangkapannya, di mana selalu ada media yang meliput secara langsung dan disetting sedemikian rupa seakan-akan ada bahaya yang sangat mengancam. Masyarakat pun dibuat bingung dan bertanya-tanya apakah sampai seperti itukah kejahatan yang mengakibatkan penangkapan yang sangat di blow-up media tanpa ada penerapan hukum asas praduga tak bersalah dan perlindungan terhadap privasi anggota keluarga lain yang tidak terlibat kasus terorisme. Ini jelas pelanggaran HAM.
Stigma negatif yang dilabelkan pada pejuang jihadis yang dianggap teroris di negara kita telah berhasil menyedot perhatian karena peran besar media pertelevisian maupun media lainnya, sehingga mampu mengeksploitasi pemberitaan yang dianggap terlalu berlebihan dan diciptakan untuk mendongkrak rating penonton tanpa peduli efek yang ditimbulkan pada keluarga terduga teroris yang akan menghadapi tekanan besar dari masyarakat dan lingkungannya.
Traumatis dan mengisolasi diri pun terjadi karena rasa tertekan dan malu ketika media tanpa sensor apa pun menayangkan keluarga terduga teroris yang tidak bersalah. Dan yang lebih parah lagi adalah akibat psikis yang berat terhadap anak-anak terduga teroris yang masih di bawah umur dan harus menghadapi bully-an yang menyebabkan terasingnya anak tersebut, baik di lingkungan sekolah maupun di sekitar rumahnya. Lalu di manakah peran hukum dalam melindungi korban media massa dalam kasus seperti ini?
Trauma yang dialami anak pun sangat berat, dan butuh waktu lama untuk memulihkan kepercayaan dirinya serta peran orang-orang dewasa untuk mengontrol lingkungan sekitarnya agar menerima anak yang ayahnya ditangkap sebagai terduga teroris tersebut secara wajar dan netral. Seperti kita tahu, masalah bulliying atau perundungan sudah menjadi momok yang menakutkan bagi seluruh orang tua yang memiliki anak usia sekolah dan dampaknya bisa menyebabkan anak bunuh diri.
Kasus pembully-an terhadap anak-anak teroris tidak menjadi perhatian KPAI secara serius. Ini terbukti dengan berulang-ulang kali media masssa dengan seenaknya menayangkan wajah-wajah tanpa dosa pada saat penangkapan terduga teroris, baik di media pertelevisian maupun media online. Mau tidak mau, ketika teman-teman sekolah anak terduga teroris menonton via media online, mereka akan mengenali wajah anak tersebut sebagai temannya di sekolah. Hasilnya, bullying pun menimpa anak tersebut yang mengakibatkan keluarga pun ikut mengisolasi diri sebagai bentuk pertahanan psikologis secara alamiah, yaitu mempertahankan diri terhadap hujatan yang diterima dari lingkungan sekitar.
Pertanyaanya, apakah itu adil? Ke manakah para pejuang HAM anak-anak? Para ulama dan MUI dalam menanggapi kasus ini? Lalu bagaimana peran pemerintah dalam hal ini Kemendikbud?
Betul, bullying pada anak terduga teroris adalah sebuah permasalahan yang ditinggalkan pasca penangkapan seorang terduga teroris. Ketika si anak terus mengeluhkan bullying yg terjadi kemudian si orang tua sampai ingin memindahkan ke sekolah lain namun tidak punya pilihan lain, tentu hal ini adalah masalah baru lagi.
Kemudian apabila pada saat seperti itu lalu datang bantuan dari kelompok pendukung si terduga teroris yang menawarkan sekolah gratis di suatu tempat dan bantuan ekonomi, maka yang demikian ini justru akan membuat keluarga terduga teroris itu menjauh dari masyarakat. Dan sangat boleh jadi ada dendam dalam diri si anak yang jika tidak ditangani dengan baik bisa menjadi bibit tindakan kekerasan di masa depan.