Pandemi COVID-19 dan Rasisme: Sepele Tapi Sakit

Analisa

by Rizka Nurul

George Floyd meninggal dunia setelah ditindih lutut polisi Amerika Serikat di Minneapolis pada 25 Mei lalu. Ia dituduh memakai uang palsu ketika bertransaksi dan kemudian diminta tiarap. Alih-alih diamankan, hidupnya justru berakhir tragis.

Pria 46 tahun itu baru saja tiba di provinsi Minnesota untuk bekerja. Ia pernah menjadi supir truk dan petugas keamanan di sebuah restoran. Orang sekitarnya mengenal Floyd sebagai sosok yang baik hati.

Kematian Floyd mengundang demontrasi anti rasisme terhadap kulit hitam di seluruh penjuru negara Paman Sam tersebut. Kamis kemarin (28/5), Demonstran membakar kantor polisi di Minneapolis, Minnesota. Bukan hanya di Minneapolis, New York, Atlanta, Detroit, Denver, Houston dan Louisville juga terjadi demonstrasi besar.

Demonstrasi di tengah pandemi Covid-19 ini juga menjadi perhatian banyak pihak. Negara bagian Minnesota sendiri mencatat 22.947 positif dimana 16.655 sembuh dan 967 meninggl dunia pada hari ini (30/5). Angka kematian di Amerika Serikat bahkan mencapai 5,8% kasus positif dan kesembuhan 15% dengan New York sebagai kasus terbanyak.

Dua hal menjadi tantangan bagi Amerika Serikat saat ini dan mungkin banyak negara di dunia. Bukan hanya kulit hitam, ras asia juga pernah menjadi korban rasisme di Eropa dan Australia pada awal pandemi ini merebak. Banyak ras asia yang ditolak di beberapa negara Eropa meskipun bukan dari China. Tentu hal ini juga dipelopori oleh pernyataan Donald Trump yang pertama kali secara gamblang menyalahkan China atas wabah Covid-19. Sebelumnya, COVID-19 dinamai Wuhan Virus namun diubah oleh WHO agar tidak mendorong rasisme lebih luas.

Indonesia juga sempat kena imbasnya. Bagaimana hastag #VirusChina pernah meramaikan jagat dunia maya ketika kasus pertama COVID-19 diketahui publik. Banyak broadcast yang menyebar untuk menjauhi ras tertentu sebagai upaya menghindari virus.

Trias Herucahyono menuliskan di kompas.tv bahwa ini pernah terjadi pada black death abad-14 dan pandemi kolera 1832. Studi dari Jurnal Social Psychological and Personality Science, pandemi bisa meningkatkan ketegangan rasial. Pada dasarnya kita memang menunjukkan tingkat kesukuan tetentu sehingga narasi propaganda dan konspirasi akan lebih mudah dibuat oleh persamaan tersebut dengan menyesuaikan zona nyaman. Rasisme juga xenophobia juga berasal dari keinginan mempertahankan diri sendiri.

Rasisme ini sama halnya seperti virus. Seringkali tidak disadari namun perlahan membunuh persatuan dan imun keberagaman kita. Jenny Munro juga pernah menulis bagaimana perkembangan rasisme yang masif di Indonesia namun jarang dibahas. Papua menjadi salah satu korban rasisme paling sering dan diskriminasi. Stigma kurang patuh terhadap otoritas pemerintah dan gaya hidup primitif seringkali dituduhkan kepada masyarakat Papua.

Sikap-sikap rasisme biasanya dilatarbelakangi oleh denial akan kekurangan diri sendiri dengan mencari kambing hitam. Sikap ini justru membuat kita mengabaikan akar masalah dan sulit mengatasi hal tersebut. Padahal manusia sejatinya hidup dalam keberagaman dan itu bukan slogan belaka. Akan sangat monoton dunia ini jika semua berjenis kelamin sama, berwarna kulit sama, memiliki ras yang sama dan persamaan lainnya.

Selain itu, manusia memiliki banyak identitas sehingga kita tidak perlu terikat pada identitas tertentu untuk menyerang orang lain. Tak perlu mencari perbedaan jika kita terlalu banyak kesamaan, sama-sama manusia.

Komentar

Tulis Komentar