Mental Inlander Masih Terpatri dalam Diri Kita

Analisa

by nurdhania

Pernahkah kita merasa rendah terhadap negara dan bangsa sendiri? Pernahkah menghina bangsa, negara, masyarakat kita sendiri, dan membanding-bandingkannya dengan negara lain? Jujur, tentu saya pernah.

Mulai dari masyarakatnya yang susah diatur, tidak disiplin, terbelakang dari segi ilmu dan teknologi, kesadaran akan kebersihan yang buruk, penegakan hukum yang masih lemah, dan lain-lain. Apalagi, kalau kita sering memberi makan kepala kita dengan apa yang sering ditonjolkan media. “Pokoknya Eropa atau Amerika itu the best! Indonesia mah jauh, terbelakang!”.

Ternyata, kita masih memiliki mental inlander atau sejenis mental yang inferior. Begini singkatnya kalau kata Wikipedia, keyakinan bahwa nilai budaya penjajah lebih unggul daripada nilai yang dimilikinya sendiri.

Kita menganggap bangsa luar itu lebih baik, dan Indonesia selalu terbelakang di semua sektor dan berada di kelas yang rendah. Seharusnya mental ini sudah hilang semenjak perginya para penjajah. Tapi nyatanya, mental ini masih melekat di diri kita. Segala sesuatu tentang Eropa atau Barat selalu canggih, terdepan, hebat, tidak ada tandingannya.

Di sisi lain, hal ini bukan berarti kita jadi diam saja terhadap ketertinggalan negara kita. Kita memang perlu mengakui dan itu pahit. Bahwa masih banyak hal yang harus ditingkatkan di semua sektor. Bahkan harus digas dulu, biar gerak, dan menjadikan hal yang baik dari negara maju sebagai motivasi dan inspirasi. Yang ingin ditekankan, jangan sampai terus-terusan menginjak, dan mengutuk negara sendiri. Padahal kan, ada sisi-sisi lemah dari setiap negara.

Seiring berjalannya waktu, saya mulai sadar dengan mendengar beberapa cerita dari teman-teman yang tinggal di luar negeri, dan mulai risih dengan orang-orang yang memuja Barat terlalu berlebihan.

Kita bisa lihat sendiri, tidak sedikit bangsa Indonesia yang maju di kancah internasional, tidak sedikit juga orang-orang luar belajar dari kita.

Apalagi dengan adanya pandemi Covid-19 ini, tampaknya mata kita yang bermental inferior mulai  terbuka. Negara superpower yang katanya paling maju, disiplin, demokratis juga keteteran dan sempat menganggap remeh wabah ini kok. Mulai dari pemimpinnya, sampai ke masyarakatnya. Presiden Donald Trump sempat menganggap remeh bahwa wabah ini tidaklah berbahaya, beberapa anak muda masih keluar untuk pesta-pesta. Makanya, angka pasien positif dan kematian dari Covid-19 mereka juga paling banyak. Saya juga sempat melihat seorang artis amerika dari akun instagramnya, sedang berbelanja ke supermarket dan ia menemukan rak-raknya kosong dikarenakan panic buying. Meskipun Indonesia sempat panic buying masker, handsanitizer, tapi saya melihat sempat gerak cepat dalam mencegah panic buying untuk sembako.

Waktu saya berkesempatan ke Munich di pertengahan Februari lalu, di bandara Munich tidak ada screening atau pengecekan suhu tubuh. Jadi mereka juga sempat terlambat. Tapi, sekarang mereka benar-benar langsung gerak cepat. Sedangkan di Thailand (ketika transit) ada pengecekan suhu tubuh, dan pegawai bandara sudah menggunakan masker. Di Munchen, ketika sedang rush hour juga macet kok. Di pusat kotanya juga masih banyak saya lihat bekas puntung rokok di jalanan. Ketika di Suriah, tepatnya waktu masih tinggal di asrama bersama para wanita dari negara lain, beberapa wanitanya, termasuk dari Eropa, ketika kondisi makanan sedang susah, mereka ngambilnya juga banyak untuk mereka simpan.

So, stop menggeneralisir. Ini memang bukan tentang negara A,B,C, tapi dari individu atau manusia itu sendiri.

Kita tentu ingin menjadi negara maju, tapi kalau masih terjajah daengan mental yang inferior seperti itu, kapan kita majunya?. Setidaknya kita kurang-kurangi mengutuk negara sendiri. Dan ini sebenarnya berlaku untuk semua pihak. Baik pemerintah dan masyarakat.

Kritik yang membangun terhadap kebijakan pemerintah yang masih lemah amatlah sangat diperlukan. Pun sebaliknya, jangan sampai pihak pusat juga tak peduli dengan suara rakyat, dan harus transparan pada rakyatnya.

Ingat kan, nobody’s perfect. Dalam urusan penanganan terorisme sendiri dengan metode soft approach atau disengagement, banyak negara luar belajar dari kita.

Komentar

Tulis Komentar