Alih-Alih Normal Baru, Kita Menemui Kekhawatiran Baru

Analisa

by Rizka Nurul

Pemerintah Indonesia menggalakkan Herd Immunity setelah kewalahan mengatasi dampak pandemi COVID-19. Padahal WHO telah tegas mengecam negara-negara yang menerapkan herd immunity ketika grafik masih tinggi. Mike Ryan, selaku direktur eksekutif WHO mengatakan bahwa konsep ini cukup buruk dalam menangani wabah yang sering dianggap sebagai solusi. Sesakti itukah Indonesia?

Manusia bukanlah ternak (herds) untuk mengetahui berapa banyak kebutuhan vaksin dan populasi terkait efek tersebut. Banyak negara telah melonggarkan lockdown dan meyakini bahwa manusia kemudian akan kebal dari virus ini. Inggris merupakan salah satu yang menerapkan ini sehingga setidaknya ada 226.463 orang dinyatakan positif dan 32.692 pasien meninggal. Jadi, sekelas negara ratu Elizabeth saja menerapkan langkah herd immunity karena ekonominya yang kian terpuruk.

Sebelum ini digalakkan, sebenarnya warga Indonesia telah menerapkan konsep ini. Saya yakin bahwa masyarakat Indonesia memang futuristik dimana bisa melaksanakan kebijakan sebelum ditentukan. Sudah beberapa minggu terakhir, PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) tidak lagi menjadi rujukan dalam beraktivitas. Jalanan masih macet bahkan banyak yang bandel dan sudah mudik. Belum lagi penutupan Mcd Sarinah yang mirip mini konser itu juga yang dihadiri orang-orang sakti mandraguna tanpa social distancing.

Dilansir dari detik.com, beberapa mal di Jakarta akan buka mulai 8 Juni 2020. Meski begitu, beberapa kebijakan seperti social distancing, pengecekan suhu tubuh, penggunaan masker dan hand sanitizer akan menjadi prioritas. Hal ini merujuk kepada kode yang diberikan oleh Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Anies mengatakan bahwa PSBB hingga 4 Juni bisa jadi PSBB penghabisan.

Jika flashback ke belakang, banyak pihak telah melakukan social distancing dan work from home sejak awal Maret 2020. Sedangkan Jakarta sendiri baru menerapkan WFH sejak 23 Maret, disusul PSBB pada 10 April 2020. (Futuristik bukan?). Beberapa kota lain baru menerapkan beberapa hari setelahnya. Artinya, masyarakat telah lebih dulu menerapkan social distancing dibanding kebijakan pemerintah. Namun kesabaran masyarakat ternyata lebih besar dimana ketika banyak pihak mulai menerima kondisi, pemerintah justru ingin buru-buru membuka PSBB.

Padahal kondisi kurva Covid belum juga melandai. Jika masyarakat diminta menghadapi normal baru, justru mereka menghadapi kekhawatiran baru. Mereka yang berjuang menjaga diri dengan social distancing selama tiga bulan akan sia-sia karena justru penyebarannya akan semakin cepat pasca PSBB dicabut. Persebaran orang semakin sembarang karena melakukan aktivitas seperti biasanya. Bukan tak mungkin akan ada yang liburan karena bosan di rumah berbulan-bulan.

Kebijakan ini juga akan mempengaruhi kebijakan industri untuk membuka lagi aktivitasnya menyusul industri penerbangan yang telah aktif. Pasar yang jadi penyebaran potensial juga bisa menjadi lokasi utama penyebaran virus ini. Kita yang mulai menerima keadaan akan kembali dihadapkan insecurities ketika berada di keramaian.

Seandainya duluPSBB lebih cepat, ketat dan tegas, mungkin hanya 2 bulan saja kita mengalami ini semua dan bukan tidak mungkin bisa sholat ied. Itu kan seandainya. Tapi sebagai rakyat biasa, mungkin kita perlu melonggarkan kekhawatiran kita untuk menghadapi pandemi ini dengan beberapa hal berikut.

Pertama, perbanyak makan-makanan bergizi, mengandung protein dan vitamin C. Kedua, cuci tangan dan jaga kebersihan dimanapun termasuk mengganti pakaian setelah dari luar rumah. Jika badanmu tak begitu merasa fit, hindari keluar rumah terutama bagi lansia dan anak-anak. Selain itu, jangan menyentuh apapun jika tangan tidak bersih dan tidak menggunakan diinfektan. Kemudian, tutup hidung dan hindari asap rokok yang 'katanya' memperparah penderita. Terakhir, berdoa kepada Yang Maha Kuasa agar tenaga kesehatan diberikan kekuatan, kita diberi kesehatan dan pemerintah disadarkan. Amin.

Komentar

Tulis Komentar