Kata jihad, agaknya sudah menjadi barang jamak di tengah masyarakat dunia. Terlebih di negara yang sudah menjadi langganan kasus teror bermuatan SARA seperti halnya negara kita, Indonesia Raya.
Meski demikian, tak sedikit pula yang betul-betul paham tentang definisi kata jihad itu sendiri. Akibatnya, sering muncul berbagai penafsiran bias dan abu-abu yang justru jauh dari esensi sebenarnya.
Satu contoh sederhana. Banyak kalangan aktivis maupun para akademisi yang berpendapat bahwa akar persoalan terorisme di Indonesia terjadi akibat dangkalnya pemahaman kelompok ini tentang makna jihad. Sehingga perlu adanya penafsiran bahwa jihad tak melulu bicara soal perang.
Sebab secara etimologis kata jihad sendiri berasal dari Bahasa Arab, jahada – yujahidu – jihadan yang bermakna bersungguh-sungguh, mengerahkan upaya, atau berjuang keras.
Dalam makna yang lebih luas, kata jihad kerap digunakan untuk melukiskan sebuah usaha maksimal dalam mencapai suatu tujuan. Seperti berbakti kepada orang tua, bekerja dan berbuat baik kepada sesama manusia, juga dapat dipahami sebagai bagian dari makna jihad itu sendiri.
Pendapat ini merujuk pada sabda Nabi pasca perang Badar, “Kita pulang dari Jihad kecil (Perang Badar) menuju jihad akbar”.
Makna yang terkandung dari sabda Nabi tersebut adalah bahwa perang hanyalah jihad kecil, dan jihad yang lebih besar adalah melawan segala nafsu yang terdapat dalam jiwa manusia.
Berbekal pada pemahaman ini, banyak kalangan yang kemudian menafsirkan kalimat jihad atau jihad fi sabilillah baik yang terdapat dalam ayat Al Qur’an maupun Hadits dengan pengertian “bersungguh-sungguh di jalan Allah”. Definisi ini pula yang kemudian banyak digunakan sebagai media counter pemahaman ekstrimisme yang belakangan marak terjadi di Indonesia, terutama menyasar kalangan yang sudah terlanjur terpapar.
Kenyataan di lapangan, hal demikian justru banyak mendapat penolakan. Ini tidak lain karena umumnya para praktisi dan kalangan akademisi tidak memahami konteks dan pokok persoalan secara utuh. Mereka hanya menggunakan hadits Nabi di atas sebagai dasar argumentasi.
Sementara, bagi kalangan jihadis dan para pelaku teror, mereka menilai bahwa hadits tersebut tidak memiliki silsilah yang jelas. Sebagaimana perkataan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani yang menyebutkan bahwa hadits ini di dalam kitab Silsilah Al-Hadits Adh-Dha’ifah sebagai hadits ‘Mungkar’ atau tidak memiliki dasar yang benar. Hadits tersebut bukan berasal dari sabda Nabi, melainkan perkataan Ibrahim bin Abi ‘Abalah, seorang ulama tabi’in dari penduduk Syam.
Perbedaan makna jihad dan jihad fi sabilillah
Secara etimologis, sedikit pun tidak terdapat pertentangan di kalangan kelompok teror dalam memahami kata jihad. Yakni bersungguh-sungguh, mengerahkan upaya dan kekuatan, atau berjuang keras,
Namun, ketika kata jihad disandingkan dengan kalimat fi sabilillah atau menjadi jihad fi sabilillah, maka makna yang terkandung di dalamnya tidak lagi dapat diartikan sebagai bersungguh-sungguh di jalan Allah. Atau diasosiasikan sebagai kesungguhan dalam beramal atau beribadah di jalan Allah dengan konteks yang luas. Akan tetapi, kalimat tersebut memiliki pergeseran makna yang berbeda.
Abdul Baqi Ramdhun dalam bukunya, Al-Jihad Sabiluna menjelaskan, adanya penggabungan kata jihad dan fi sabilillah memiliki makna sebagai al-qital atau perang.
Hal ini didasarkan pada penjelasan dalam buku Fiqih Madzahibul Arba’ah atau Fiqih 4 Imam Madzab (Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hambali). Di dalam buku tersebut, ke-4 Imam Madzhab tersebut sepakat bahwa jihad fi sabilillah adalah al qitalu ‘alal kuffar li I’lai kalimatillah atau ‘berperang melawan orang kafir untuk menegakkan kalimat Allah.’
Hal senada juga terdapat dalam buku Masyari’ul Aswaq Ila Masyori’ul Usyaq karya Abu Zakaria Ahmad Bin Ibrahim Bin Muhammad Ad-Damsyiqi Ad-Dimyathi atau lebih dikenal dengan nama Ibnu Nuhas juga memberikan penjelasan yang sama.
Karena itu, tidak mengherankan jika banyak para pelaku teror, baik mereka yang masih bergerilya bersama kelompoknya, di dalam penjara, maupun sudah kembali di tengah masyarakat (bebas), pemahaman akan jihad sebagai perang sukar untuk dihilangkan.
Kenyataan ini justru berbanding terbalik dengan berbagai upaya deradikalisasi yang selama ini cukup gencar dilakukan baik oleh pemerintah, organisasi, yayasan maupun para aktivis yang konsen di isu perdamaian. Termasuk dengan merangkul berbagai tokoh agamawan dengan menggunakan narasi-narasi jihad yang damai dan semangat nasionalisme.
Akibatnya, terjadi benturan ideologi baik dari kalangan jihadis maupun kelompok nasionalis. Ini pula yang menjadi alasan, bagaimana kampanye-kampanye deradikalisasi selalu mengalami penolakan. Sebab banyak yang tidak memahami akar dari logika jihad dan jihad fi sabilillah yang menjadi basis keyakinan kelompok ini.
Persoalan ini menjadi semakin runyam ketika orang-orang yang mengalami penolakan ini memberikan stigma yang salah. Misalnya, seorang mantan narapidana kasus terorisme yang dianggap cukup kooperatif dan mulai terbuka dengan berbagai kalangan, dianggap masih ‘merah’ atau berpikiran keras hanya karena ia masih berkeyakinan bahwa jihad fi sabilillah sebagai perang di jalan Allah.
Tentunya, kita tidak ingin negara yang kita cintai ini kembali dilanda serangan teror. Dan salah satu usaha yang bisa kita lakukan yakni dengan merangkul orang-orang yang pernah terpapar ideologi teror. Namun, tanpa memahami akar persoalan dan logika berpikir kelompok ini, maka kampanye-kampanye perdamaian dan deradikalisasi hanya akan menjadi pepesan kosong. Wallahu a’lam ….