Anak Muda dan Aksi Teror: Imaji Superboy, Heroisme Syuhada hingga Mentor Virtual

News

by Eka Setiawan

Fenomena anak-anak muda yang terlibat terorisme dimaknai sebagai suatu cara untuk meluapkan energi mereka. Pada fase hidup itu, anak muda kerap menyukai hal-hal yang bersifat heroisme.

Imajinasi sebagai seorang hero alias pahlawan menyebabkan mereka kerap berdiri di garda depan dalam melakukan aksi, dalam hal ini pada konteks aksi teror.

Hal itu diungkapkan mantan narapidana terorisme Mahmudi Hariono alias Yusuf ketika berbincang dengan ruangobrol.id di Kota Semarang, Jumat (15/5/2018) petang.

Yusuf menceritakan narasi-narasi yang kerap dibangun oleh para pimpinannya, ustaznya, ketika dulu masih di dalam jaringan adalah tentang heroisme pemuda.

“Doktrin-doktrin kebangsaan dan agama saya kira sama, seperti nasib bangsa di tangan pemuda, pemuda adalah tulang punggung, pada konteks agama juga sama,” kata Yusuf.

Dia berkisah, pengalamannya dulu, kerap diberikan cerita-cerita tentang hebatnya pemuda yang punya kisah heroisme. Di antaranya tentang kisah Hanzallah Sang Pengantin Langit, kisah heroisme sahabat Rasulullah dalam medan jihad, kemudian tenang Nabi Ibrahim yang begitu membanggakan Ismail anaknya, kemudian Rasulullah kepada Hasan dan Husein.

“Semuanya tentang sejarah pemuda, pemuda yang jadi tumpuan harapan, pahlawan. Sejarah seperti ini, anak-anak muda pasti tertarik. Ada juga buku Miysaq Syuhada, isinya kira-kira 60 tokoh syuhada yang rata-rata pemuda, ya usia 20 sampai 30 tahun lah,” lanjutnya.

Yusuf juga menceritakan tentang kisah yang lebih populer, walaupun itu imajiner. Adalah lewat film.

“Kalau dulu ada Superman terus gantinya Superboy, itu kan tentang anak muda,” sambung Yusuf.

Maka, tak heran, sebut Yusuf, serangkaian aksi teror di Indonesia ada anak-anak muda yang terlibat di dalamnya. Tak hanya sebagai pendukung, tapi sebagai pelaku aktif hingga mau jadi eksekutor bom bunuh diri atau penyerangan lain kepada target yang dianggap musuh.

Secara pribadi, dia sendiri menyebut ketika bertemu dengan ustaz-ustaz macam Abu Bakar Baasyir, Abu Husna, memang ada pesona tersendiri. Namun, pesona itu datang jauh lebih besar ketika bertemu dengan ustaz yang notabene masih muda.

“Misalnya Ustaz Fahim, wah itu masih enerjik. Apalagi ketika bercerita tentang ma’rokah atau medan jihad, ini sangat menarik bagi saya ketika itu, bagi anak-anak muda usia saya. Kisah-kisah heroisme itu istilahnya mewakili keinginan saya, jadi ingin seperti mereka,” kata Yusuf mengenang.

Para ustaz yang masih-masih muda itu, sebut Yusuf, ketika itu mewakili dia dan seumurannya. Jadi, tak heran ketika dibelokkan sedikit saja, didoktrin sedikit saja, maka anak-anak muda yang sudah terpapar radikalisme dengan mudah melakukan aksi nyata.

“Ketika itu saya masih meluap-luap, kapan nih saya bisa aksi. Kalau ketemu dengan ustaz-ustaz yang sudah berumur, jadi malas, ngaji terus bertahun-tahun, teori terus, kapan praktiknya? Kan seperti itu,” sambung Yusuf.

Suatu waktu, ceritanya, dia sempat melihat patung Burung Garuda di dekat rumahnya di Jombang, Jawa Timur, Yusuf sampai berpikir bagaimana mengebom atau menghancurkan patung itu.

Namun, di satu sisi, ustaz-ustaz itu juga ternyata yang “mengerem” kelompok anak muda ini untuk tidak sembarangan melakukan aksi. Itu menjadi pertentangan tersendiri, di satu sisi keinginan beraksi bisa sedikit terbendung, tapi di sisi lain akan jadi aksi besar jika lama-kelamaan energi sudah tak terbendung.

Apalagi jika bertemu dengan kelompok-kelompok yang punya pikiran sama, anak-anak muda yang sudah kadung ingin tampil melakukan aksi, pada konteks ini aksi teror atau kerap disebut amaliyah.

“Peristiwa Bom Bali salah satunya, meski ada pertentangan, tapi terjadi juga,” sebut Yusuf.

Alasan lain kenapa anak-anak muda terlibat kekerasan hingga aksi teror itu, sebut Yusuf, juga karena syarat tertentu. Dia mengenang, ketika ada konflik Ambon Poso di era tahun 2000, salah satu syarat kelompok agar anak muda bisa diterima untuk terjun ke medan konflik itu adalah pemuda.

“Syaratnya belum menikah untuk terjun ke sana. Karena dianggap di sana bisa tahan lama, artinya belum terbebani sudah punya keluarga dalam hal ini istri ataupun anak, jadi anak-anak muda yang direkrut,” bebernya.

Berkaca dari kisahnya, Yusuf juga melihat, bagaimana anak-anak muda di beberapa tahun terakhir terlibat aksi teror, meski ternyata tidak bergabung kelompok tertentu. Istilahnya lone wolf.

“Internet jadi pembimbingnya, mentornya jadi ketika sudah ingin beraksi ya langsung dijalankan, mentor virtual lah. Beda dengan saya dulu, ada ustaz atau figur yang dilihat dan mengerem,” tutup Yusuf.

 

ilustrasi: pixabay.com

 

 

Komentar

Tulis Komentar