Ketika Mantan Petinggi Jamaah Islamiyah dan Mantan Jenderal Densus 88 Bertemu dalam Damai Natal

Tokoh

by Eka Setiawan

Sosok Irjen Pol (Purn) Bekto Suprapto yang kini anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) ternyata punya kenangan tersendiri bagi Nasir Abas, mantan pentolan Jamaah Islamiyah (JI) sekaligus “guru” dari Imam Samudra dan beberapa teroris “besar” lainnya.

Adalah ketika perjumpaan awalnya, sesaat setelah ditangkap, di tahun 2003 silam, pasca Bom Bali I. Saat itu Bekto menjabat Kepala Densus 88/Antiteror Polri.

Kenangan itu dituliskan Nasir dilaman Facebook miliknya. Dia memosting foto bersama Irjen Pol (Purn) Bekto Suprapto dengan bakcground Pohon Natal, tertulis waktunya 25 Desember 2019. Nasir Abas mengunjungi rumah Pak Bekto. Kenangan dan segala cerita lalu itu bagi Nasir “tidak ada yang kebetulan”.

Nasir memulai cerita, dirinya ditangkap ada 18 April 2003, bertepatan dengan hari yang diyakini umat Nasrani sebagai Jumat Agung (Good Friday).

Sebelumnya, Nasir hampir saja tertangkap Densus, tepatnya pada Minggu, 6 April 2003. Lokasinya di Terminal Bus Bungurasih Surabaya.

“Ternyata Densus 88 salah menangkap, anak buah saya, anggota kelompok Jamaah Islamiyah (JI) yang mengantar saya ke terminal bus itu (yang ditangkap), saya lolos ke Jakarta,” tulis Nasir Abas.

Insiden itu juga berdampak rapat para petinggi JI yang sedianya berlangsung 3 hari dipangkas jadi 1 hari tanpa menginap. Itu pada 7 April 2003, lokasinya di Puncak, Bogor.

Para pimpinan mengkhawatirkan keselamatan semua pimpinan JI yang hadir rapat, sebab Nasir sudah jelas sedang dibuntui aparat.

Keputusan rapat saat itu, agar semua bidang berkoordinasi di wilayah masing-masing.

“Saya berkeliling bertemu pimpinan JI yang terkait dalam waktu seminggu, sementara saya menginap di ruko milik yayasan kelompok JI di Pondok Gede,” lanjutnya.

Senin 14 April 2003, pagi hari, Nasir masih di dalam ruko itu. Dia melihat ada 4 mobil yang parkir di depan ruko. Ini mencurigakan, karena parkir dari semalaman. Instingnya bergerak, Nasir langsung pindah menggunakan motor kabur dari ruko. Terlihat, mobil yang diparkiran itu mengejar tapi terhalang macetnya jalanan Pondok Gede Bekasi.

Sekali lagi, Nasir lolos dan menginap di rumah kawannya di Vila Nusa Indah Bekasi. Temannya saat itu tinggal sendirian, sebab istrinya sedang di kampung.

Di sana, Nasir juga memutar otak untuk bisa melanjutkan perjalanan, sebab dia harus kembali ke Sulawesi ke tempat tinggalnya, tepatnya di Perumahan Palupi Permai, Palu, Sulawesi Tengah. Dia mendapat informasi jadwal Kapal Pelni Jurusan Surabaya - Pantoloan (Palu) akan berangkat 20 April sore (Minggu).

“Tanggal 18 April 2003 pagi, saya minta tolong teman untuk memindahkan komputer PC yang saya titip di ruko (Pondok Gede, tempat pernah dikepung polisi) yang saya beli di Mangga Dua untuk saya bawa ke Palu, karena tanggal 19 April saya harus naik bus ke Surabaya,” lanjut Nasir.

Namun, sesuatu terjadi. Jumat 18 April 2003 malam, sekira pukul 21.00 WIB, pintu rumah teman tempat saya tinggal terdengar diketuk. Saya mengira teman yang punya rumah pulang, lalu saya bukakan pintu. Setelah dibuka, ternyata 6 polisi, menodong senjata ke saya.

Nasir berpikir, inilah waktunya mati. Dia berkeyakinan harus melawan sampai mati polisi-poliri itu, seperti yang dia ajarkan dan latih kepada semua anggota JI di kamp pelatihan militer.

Nasir maju menyerang polisi dengan tangan kosong. Harapannya mereka menembak mati dirinya, atau sebaliknya Nasir bisa merampas senpi lalu membunuh mereka, para polisi itu.

“Baku pukul terjadi antara saya dan 6 polisi. 2 polisi cedera (1 patah tangan, 1 lagi kakinya), sementara saya terpojok diringkus hidup. Menyesal saya mengapa saya tidak mati, padahal saya sudah menyerang. 3 pasang borgol di tangan dan kaki dirantai gembok cina,” beber Nasir Abas.

Bertemu Pak Bekto saat interogasi

Selama 2 hari, Nasir tak menjawab atupun pertanyan polisi yang menginterogasinya.

“Hanya kata astaghfirullah yang keluar dari mulut saya menjawab setiap pertanyaan polisi,” cerita Nasir.

Hari berganti, memasuki hari ke-3 interogasi. Minggu 20 April 2003, Pak Bekto muncul, menyampaikan kepada Nasir bahwa polisi sudah tahu semua informasinya walaupun dia tak menjawab satupun pertanyaan polisi selama interogasi.

Nasir menceritakan, Pak Bekto ketika itu menyebutkan Nasir tak terlibat aksi Bom Bali I 2002 itu, tidak setuju dengan aksi bom ide Hambali sejak bom gereja malam Natal tahun 2000, selain itu juga selalu menasihati anggota JI untuk tidak mengikuti Hambali.

Lalu, Pak Bekto menyodorkan 3 lembar kertas ukuran A4 kepada Nasir yang sudah berisi tulisan tangan. Masing-masing kertas itu tertulis “Siapa itu Khairudin”, kesaksian 2 halaman tulisan tangan tanpa nama dan tanggal, kemudian “Siapa itu Sulaiman” dan ketiga “Siapa itu Nasir”. Ini di antara namanya (Nasir Abas), dari total 14 nama.

“Ini berarti ada 3 orang yang memberi keterangan tertulis kepada polisi tentang saya tidak setuju aksi bom yang ditujukan ke warga sipil,” kata Nasir.

Mengenai siapa 3 orang itu, sampai saat ini Nasir tidak tahu pasti. Namun, dia yakin mereka bertiga sudah tertangkap lebih dulu. Dan Nasir yakin mereka ada alasan untuk menulis seperti itu.

Walau demikian, Nasir belum mau bicara dengan polisi yang mengiterogasinya. Dia baru mendapat jawaban mengapa harus menjawab pertanyaan polisi yaitu keyakinan “amar makruf dan nahi anil munkar”. Itulah alasan Nasir akhirnya mau bicara, sebab teman-teman JI, para pelaku bom itu telah berbuat zalim dan munkar dengan membunuh warga sipil tak berdosa.

Nasir kemudian meminta anggota Brigade Mobil (Brimob) yang berjaga untuk memanggil Pak Bekto. Nasir ketika itu hanya tahu cirinya, yakni komandan berambut putih.

Segera Pak Bekto masuk ke ruangannya ditahan. Nasir membuat permintaan, dirinya hanya ingin bicara dengan Pak Bekto, berdua empat mata saja. Spontan, kata Nasir, Pak Bekto mengiyakan.

“Beliau memerintahkan 10 anggota Brimob lengkap bersenjata ke luar dari ruangan, beberapa anggota polisi interogator juga keluar ruangan, dan Pak Bekto perintahkan agar 3 pasang borgol di tangan saya dilepas begitu juga rantai di kaki, tinggal kami berdua di ruangan itu,” bebernya.

Ketulusan yang mendamaikan

Ketika Pak Bekto menutup pintu, Nasir tersirat berpikir untuk memukulnya, sebab ada bisikan “hantam saja kafir ini”. Tapi, bisikan kanan mencegah “Jangan, dia sudah menghargaimu”. Akhirnya, bisikan kanan itulah yang berhasil menenangkan Nasir Abas. Mereka kemudian duduk berdua tanpa ada orang lain.

Nasir melihatnya sebagai keberanian Pak Bekto sekaligus ketulusan ingin memahami dirinya. Pendekatan Pak Bekto bicara hati ke hati, mata ke mata, kelembutan bahasa komunikasinya, gaya susunan kalimatnya, membuka pikiran Nasir Abas.

“Menenangkan hati dan pikiran saya yang gundah,” kata Nasir.

Pak Bekto, sebut Nasir, menyemangati dirinya untuk bersama-sama menghentikan aksi terorisme seperti yang sebelumnya dilakukan sebelum tertangkap, yakni ketika memberi nasihat teman-teman JI agar berhenti melakukan pengeboman.

Nasir kemudian menuliskan rasa terima kasihnya kepada Pak Bekto, lewat tulisan itu, atas perkenalkan yang Tuhan sudah atur untuk mereka. Nasir juga berterima kasih kepada Pak Bekto telah membuka pikirannya menerima perbedaan.

“Ternyata setelah sekian bulan menjadi tahanan saya baru tahu kalau beliau adalah seorang Nasrani. Dan beliaulah yg pertama melakukan soft approach kepada tahanan kasus teror (saat ini disebut deradikalisasi). Selamat memperingati dan menyambut Natal 2019, semoga Bapak sekeluarga sehat selalu,” tulis Nasir Abas.

 

Foto: Facebook Nasir Abas

Komentar

Tulis Komentar