Jika sebelumnya banyak negara yang berbondong-bondong optimis akan berakhirnya wabah ini secara cepat, namun nampaknya optimisme harus dikubur sementara waktu. Setidaknya kita harus mulai beradaptasi dengan era “new normal” untuk mulai berbenah menerima keadaan.
Ketika Wuhan telah selesai mengkarantina diri, Indonesia baru mulai melakukannya. Saat ini, negara Eropa Barat dan Selandia Baru telah bertepuk tangan akan suksesnya penanganan virus ini, Afrika justru baru memulai pandemi.
Dunia mulai memahami bahwa kita tidak bisa selamanya mengkarantina diri. Banyak negara juga memiliki keterbatasan dalam menanggung sepenuhnya kehidupan masyarakat (termasuk Indonesia). Satu-satunya jalan, menghadapi ketidakmampuan negara dan kengeyelan masyarakat adalah penyebaran vaksin dimana vaksin sendiri belum benar-benar bisa disebarkan.
Keadaan tersebut dibaca oleh maskapai Amerika Serikat, JetBlue. JetBlue telah membuka penerbangannya sejak lama dan mulai 4 Mei 2020 lalu, JetBlue mewajibkan semua penumpang menggunakan masker selama perjalanan sejak Check in hingga tiba ditujuan. Ini didukung oleh otoritas Amerika Serikat yang membagikan maseker dan tisu secara masal. Kebijakan ini menyusul kebijakan sebelumnya dimana pramugari wajib menggunakan masker saat bekerja.
Pembukaan kembali transportasi sejak 7 Mei kemarin, mendorong Indonesia juga perlu berdaptasi dengan New Normal ini. Penggunaan masker kemana pun, mencuci tangan, menjaga imunitas tubuh dan termasuk menjaga jarak dengan orang lain. Kedisiplinan bisa sangat menentukan kesehatan diri kita.
Komunikasi tatap muka akan terhalangi oleh masker beralih jadi komunikasi tatap mata. Kita tak lagi bisa baper jika melihat orang hanya sepasang mata saja atau setelah menyentuh kita, mereka cuci tangan. Bukan karena tak ingin kenal, menyembunyikan identitas atau jijik bersentuhan, semua ini demi kesehatan.
Bahkan orang akan menghindari pertemuan secara langsung dan memilih untuk melakukan aktivitas online. Ini mungkin juga akan terjadi di ruang-ruang kelas, ruang diskusi, stadion olahraga bahkan kehidupan sehari-hari. Lupakan kegelisahan Nadiem Makariem yang tak tahu kalau pedalaman Indonesia belum ada akses internet. Tapi justru ini jadi pekerjaan rumah untuk provider di Indonesia menyediakan akses internet gratis atau kalau gak gratis, pemerintah yang bayar. Internet akan jadi kebutuhan pokok dimana sebelumnya ini akan terjadi 2050, namun ternyata lebih cepat. Lagi-lagi, bukan karena kecanggihan teknologi tapi karena kesehatan.
Bagaimana dengan kita? Kita akan semakin butuh pemahaman digital literasi yang lebih mumpuni sebelum semua beralih ke online. Online bisa saja lebih cepat dengan citizen journalism, tapi online juga bisa lebih jahat dengan ujaran kebencian dan manipulasi yang bisa jadi semakin sulit dibuktikan kebenarannya. Meskipun tak bisa check and recheck demi kesehatan, tapi kita akan perlu terbiasa untuk menolak informasi yang hanya dari satu sundut pandang. Sebelum ada perbandingan untuk menentukan kebenaran, jangan mudah percaya. Demi kesehatan.