Mengapa Banyak Napi Kriminal yang Mau Jadi Pengikut Napi Teroris di Penjara?

Analisa

by Arif Budi Setyawan

Salah satu hal yang sering menjadi sorotan publik terhadap program pembinaan pada para napi kasus terorisme (napiter) di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas) adalah fenomena perekrutan jaringan baru. Alih-alih mengubah pemikiran para napiter, yang ada malah mereka berhasil merekrut dan mengembangkan jaringan mereka.

Contohnya: kasus pencurian dan penyelundupan keluar senjata api inventaris Lapas Tangerang pada awal tahun 2016. Kasus yang terungkap dari ditemukannya senjata api pada tersangka teroris yang teregister atas nama Lapas Tangerang. Senjata itu ternyata dicuri dan diselundupkan oleh seorang napi kriminal yang merupakan simpatisan salah satu napiter di Lapas Tangerang. Napi itu melakukannya ketika menjadi tahanan pendamping (tamping) yang bertugas membersihkan ruangan kantor KPLP.

Belum lagi ada beberapa pelaku kasus terorisme yang dulunya adalah mantan napi kriminal umum yang menjadi murid dari napiter di lapas. Kasus penangkapan terduga teroris di Surabaya baru-baru ini adalah salah satu contoh terkini. Ia diduga teradikalisasi ketika menjalani pidana bersama para napiter di sebuah lapas di Jawa Timur.

Pertanyaannya adalah : Mengapa itu bisa terjadi ? Atau bagaimana itu bisa terjadi ? Dan apakah bisa dicegah ?

Let me tell you the story. Saya pernah menjadi saksi bagaimana sebuah proses perekrutan di penjara terjadi dan bagaimana upaya pihak lapas mengantisipasinya.

Mengapa ada perekrutan di dalam lapas? Ini pertanyaan yang harus dijawab terlebih dahulu.

Bagi orang yang menganggap dirinya sebagai seorang pejuang dari sebuah ideologi atau sebuah gerakan, pastilah menginginkan bertambahnya pengikut yang mau ikut berjuang bersama-sama. Tidak usah jauh-jauh. Anggota tim sukses salah satu calon presiden atau calon pemimpin daerah pasti akan berusaha mendapatkan pengikut sebanyak-banyaknya. Maka demikian pula yang terjadi pada pendukung ‘khilafah’ versi ISIS itu.

Kembali ke pertanyaan : mengapa banyak napi kriminal yang mau menjadi pengikut napi teroris di penjara? Setidaknya ada dua penjelasan.

Pertama:

Di dalam penjara, para napi teroris itu dipandang sebagai sosok yang taat beragama, pintar mengaji, mengerti banyak soal agama, dan memiliki jaringan pendukung yang luas. Selain itu juga kerap kali mendapat perlakuan khusus dari para petugas lapas.

Karena adanya asumsi seperti itu, maka seringkali para napi umum kemudian menyimpulkan bahwa jika ikut mengaji di kelompok napiter setidaknya akan ikut kecipratan ‘berkah’ yang didapat dari jaringan pendukung mereka di luar. ‘Berkah’ itu misalnya bisa berupa pasokan logistik seperti madu, herbal, gula, kopi, dll.

Jadi, ketika seorang napi umum ingin bertaubat dan belajar mengaji atau ingin memperdalam ilmu agama, para napiter itu menjadi salah satu pilihan alternatif selain program pembinaan yang diadakan oleh pihak lapas.

Dan para napiter –yang kebetulan pro ISIS-- itu senang sekali ketika ada yang ingin belajar ke mereka. Lha iya, daripada gabut, kemudian ada yang menganggap mereka pintar, mengapa tidak digarap sekalian?

Kedua:

Napi kriminal umum yang benar-benar ingin bertaubat itu selalunya atau hampir selalu memiliki semangat yang luar biasa untuk belajar agama dan rasa ingin menebus kesalahan di masa lalu. Ketika mereka ini kemudian memilih napiter –yang pro ISIS-- sebagai mentornya, maka akan semakin memudahkan bagi mereka untuk menerima dan membenarkan doktrin-doktrin ekstrim dari mentornya itu.

Misalnya: Saya pernah mendengar bahwa para napiter pro ISIS itu menyampaikan bahwa syarat taubat adalah bertauhid yang benar. Tauhid yang benar adalah beriman kepada keesaan Allah SWT dan memusuhi thaghut. Dan salah satu thaghut yang utama adalah penguasa negeri ini yang dipilih melalui demokrasi dan tidak menjalankan syariat Islam.

Doktrin ini bisa dikembangkan sampai pada level : memerangi thaghut adalah tingkatan tauhid yang tertinggi.

Jadi ketika ada mantan napi kriminal yang kemudian terlibat aksi terorisme, mereka adalah korban doktrin itu. Taubat tidak sempurna tanpa tauhid yang benar. Dan tingkatan tauhid yang tertinggi adalah memerangi musuh tauhid. Menjadi pelaku aksi terorisme membuat para mantan napi kriminal itu merasa sedang dalam perjalanan menebus dosa.

Masalahnya, pemahaman tauhid mereka itu sangat sempit.

Contoh Antisipasi yang Baik dari Lapas

Di Lapas Salemba –tempat saya menjalani pidana-- sempat ada beberapa riwayat rekrutmen atau pembinaan yang dilakukan oleh para napiter pro ISIS kepada beberapa napi umum. Pihak lapas dengan cepat melakukan pemantauan dan identifikasi siapa saja mereka.

Lalu para napi umum pengikut napiter pro ISIS itu jika masa hukumannya masih lama, akan dipindahkan ke lapas lain. Tapi jika tinggal sebentar cenderung akan dibiarkan saja namun masuk dalam catatan. Makanya ketika terjadi aksi terorisme yang dilakukan mantan napi umum akan mudah terlacak kepada siapa napi umum itu berguru.

ilustrasi: pixabay.com

Komentar

Tulis Komentar