Ramadan di Tanah Suriah: Pedih dan Bertaruh Nyawa

Analisa

by Ahsan Ridhoi

Ramadan semestinya memjadi waktu bagi muslim untuk berkumpul dengan keluarga dalam ketenangan. Makan sahur bersama, beribadah bersama, berbuka bersama. Bulan suci yang menghadirkan kebahagiaan. Namun tidak bagi masyarakat Suriah.

Ramadan tahun ini, warga Suriah masih harus berada di tengah konflik. Ribuan orang pun mesti tinggal di pengungsian. Sudah begitu ditambah pandemi corona. Masjid banyak ditutup. Sementara di kamp pengungsian fasilitas tak memadahi untuk beribadah dan mencegah penyebaran corona.

Unicef menyebut, kini bahan makanan sedang langka dan mahal. Maka bagi warga Suriah kebanyakan susah membeli makanan untuk berbuka dan sahur. Saat keluar membeli pun mereka harus bertaruh nyawa.

Bagi mereka yang tinggal di pengungsian, mereka mesti mengantre untuk dapat makanan layak. Begitupun masih harus berisiko tertular corona.

Watheg dan Harm, dua pengungsi Suriah, kepada Unicef bercerita beribadah tak bisa nyaman. Mereka ingin segera tiba perdamaian di negaranya agar bisa membangun kembali semuanya dari awal. Hidup lebih baik ke depannya.

Keduanya memiliki pengalaman pahit pada 2011. Ketika hendak beribadah di masjid saat Ramadan, mereke ditembaki sekumpulan orang. Banyak orang yang meninggal. Namun mereka selamat.

Ramadan tahun ini, mereka masih dibayangi trauma kejadian itu. Membuat ibadah mereka diliputi ketakutan karena harus bertaruh nyawa.

Kapankah Suriah damai?

Komentar

Tulis Komentar