Pandemi Semakin Lama, Teroris Semakin Nyata

Analisa

by Rizka Nurul

PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang dilakukan di banyak daerah ternyata belum begitu efektif. Hal ini tak lain karena penegakan peraturan belum maksimal dan kesadaran masyarakat yang masih rendah. Commuter Line kembali ramai dalam satu minggu terakhir ternyata menjadi media penyebaran. 3 orang dari 352 yang diperiksa ternyata positif virus COVID-19.

Namun, beberapa negara telah berhasil menangani ini seperti Vietnam, Jerman dan Selandia Baru. Setidaknya social distancing dan karantina wilayah membuat mereka bebas Covid dalam 1 minggu terakhir. Vietnam bahkan tak punya angka kematian dari ratusan kasus positif Covid. Wuhan sendiri sudah kembali normal setelah 2 bulan penuh lockdown. Apakah ini tanda berakhirnya COVID-19?

Gideon Lichfield menuliskan dalam Technology Review meyakini bahwa sulit kembali normal selama seseorang masih memiliki virus ini. Pembatasan sosial merupakan ide mengurangi aktivitas di luar rumah sebanyak 75% yang artinya mengurangi kasus secara 75% juga. Khawatirnya, begitu pembatasan sosial dicabut, maka angka akan melonjak kembali.

Setidanya saat ini, masyarakat dunia sedang belajar mengubah gaya hidupnya untuk meningkatkan aktivitas online dan mengurangi offline. Negara juga akan merasa perlu melakukan pelayaka orang dan aktivitasnya dimana ini akan mulai dilakukan oleh Israel dan Singapura. Kita akan semakin antisipatif akan kesehatan, menggunakan pengukur suhu, meminum multivitamin, gaya hidup sehat dan mengurangi kontak sosial langsung.

Seringkali masyarakat kurang peka akan perubahan akan sistem hidup yang baru. Tapi kelompok eksrimis justru lebih lihai dan lebih paham mencari celah dalam proses perubahan.

Penyerangan pos polisi di Poso pada 15 April 2020 lalu menjadi salah satu dampak dari COVID-19 menurut Noor Huda Ismail. Hal ini berdasarkan newsletter An-Naba yang dikeluarkan ISIS dan berisi mengenai pengikutnya melakukan aksi untuk khilafah dalam masa pandemi. Ali alias Darwin Gobel merupakan residivis kasus terorisme yang kembali melakukan aksi untuk Mujahidin Indonesia Timur. ISIS mencoba mencari muka dan tampil di masa ini.

Ini bisa mungkin terjadi mengingat jalanan menjadi sepi dan banyak orang menjadi lengah. Justru pencegahan perlu ditingkatkan lebih dalam masa pandemi seperti ini terutama dari sisi keamanan.

Tantangan lainnya adalah bagaimana peningkatan aktivitas online akhir-akhir ini sebenarnya telah dilakukan jauh-jauh hari oleh kelompok ekstrimis. Mereka telah melakukan koordinasi, rekrutmen, propaganda, kampanye bahkan pernikahan online. Itu telah dilakukan sebelum negara bahkan pelaku C/PVE (Conuter/Preventive Violence Extrimism) melakukannya.

Masalahnya, literasi digital di Masyarakat belumlah sepadan dengan serangan narasi online. Apalagi kejenuhan dan kebosanan yang meningkatkan emosi, mengurangi konsentrasi dan keengganan untuk mencari kebernaran informasi. Mereka yang terkena dampak akan cenderung mencari kambing hitam dimana kekecewaan dan kegalauan ini seringkali dimanfaatkan dengan baik oleh kelompok ini.

Kita perlu menyadari bahwa upaya keterlibatan seseorang terhadap kelompok ekstrimis tak selalu masalah ideologi. Keterdesekan lingkungan, kesempatan dan jaringan yang terbuka bagi mereka yang membutuhkan kelapangan menjadi salah satu kemungkinan.

Oleh karena itu, masa pandemi ini kita perlu hadapi dengan hal-hal yang justru lebih positif dan semakin peduli dengan lingkungan sekitar. Physical distancing tidak perlu diiringi dengan social relations distancing.

Komentar

Tulis Komentar