Penyair Chairil Anwar pernah berkata dalam sebuah bait puisinya, "sekali berarti sudah itu mati." Bait yang kiranya pas untuk disematkan kepada mendiang Didi Kempot yang wafat pada 5 Mei 2020 di usia 54 tahun.
Tak banyak manusia di dunia ini yang kematiannya menciptakan rasa kehilangan mendalam bagi masyarakat luas. Menjadi figur publik pun tak menjamin kematiannya bakal ditangisi. Sejarah mencatat tokoh-tokoh yang justru kematiannya dianggap sebagai berkah. Salah satunya Adolf Hitler yang kematiannya dirayakan sebagai akhir Perang Dunia II dan genosida terhadap Yahudi.
Didi Kempot adalah sedikit dari manusia yang kematiannya mencipatakan haru. Hal ini tak lepas dari perjalanan hidupnya yang memberi arti bagi kehidupan orang banyak. Melalui lagu-lagunya ia berhasil menghibur banyak jiwa yang sedih karena patah hati. Membuat jiwa-jiwa itu tak merasa sendiri sehingga larut dalam frustasi.
Lebih dari itu, Didi memang musisi jempolan. Ia mampu mencipta lagu-lagu apik yang bisa melenakan telinga sekaligus hati pendengarnya. Ukurannya sederhana, lagu-lagunya selalu berhasil membuat pendengarnya terlibat secara perasaan. Terbukti dengan selalu ada saja penonton-penonton yang menangis atau paling tidak berjoget dengan khusyu di tiap konsernya.
Rhoma Irama pernah bilang, hanya ada dua kunci seorang musisi bisa mencipta lagu yang menyentuh pendengarnya dan tak lekang oleh waktu. Pertama, membuatnya dengan hati. Bukan tendensi komersil semata. Kedua, memahami kondisi calon pendengarnya.
Pendapat Bung Rhoma itu banyak benarnya. Hampir seluruh lagu evergreen memang memiliki latar belakang cerita dalam pembuatannya yang berhubungan dengan pribadi penciptanya. Sebut saja lagu Love of My Life yang diciptakan Freddy Mercury ketika sedang sangat jatuh cinta kepada kekasihnya, tapi justru hubungan mereka kandas.
Jutaan orang di dunia ini memiliki kisah serupa dengan Freddy dari waktu ke waktu. Ketika ia berhasil menciptakannya dengan segala ketulusan di hatinya, maka jutaan orang lain itu pun merasa terlibat dengan lagu itu. Hasilnya lagu itu tak lekang oleh zaman.
Selain itu, sebagai musisi Freddy sangat mengerti cara membuat gubahan yang cocok di telinga pendengarnya. Begitupun sesuai dengan pasar genre musik yang ditekuninya. Maka, jadi lah lagu Love of My Life seperti yang kita dengar sekarang ini.
Terkait dua kunci itu lah Didi Kempot setara dengan Freddy. Lagu-lagu penyanyi asal Solo ini memiliki latar belakang dari kisah cinta pribadinya. Misalnya lagu Cidro yang terilhami dari kandasnya kisah cintanya lantaran tak direstui orangtua kekasihnya.
Perasaan yang masygul saat itu, mengilhami Didi menulis lirik "aku nelongso mergo kebacut tresno. Ora ngiro saikine cidro." Dalam bahasa Indonesia berarti "aku nelangsa karena terlanjur cinta. Tak menyangka sekarang akan terluka."
Tentu bukan hanya Didi yang pernah mengalami putus cinta karena ditolak mertua. Namun ia lah yang sukses mewujudkan nelangsa hatinya menjadi lagu dengan tulus. Akhirnya, orang lain yang memiliki kisah serupa cukup mendengar lagunya untuk bisa mengungkapkan perasaan nelangsa mereka.
Lahir dan tumbuh dari keluarga seniman, Didi memiliki bakat musik yang tinggi sejak kecil. Ia pandai memainkan gamelan dan alat musik lainnya sejak masih di bangku sekolah. Ia pun sudah akrab dengan tembang Jawa dan genre campursari sejak lama. Tak heran jika ia pandai menggubah lagu yang pas dengan genre campursari. Lebih baik daripada musisi lainnya.
Sampai di sini kita tahu alasan Didi Kempot tetap relevan di telinga anak-anak milenial yang semestinya lebih gandrung dengan budaya populer. Sebab ia menyentuh hati anak-anak itu. Menyentuh kedalaman perasaan mereka. Mewakili kegalauan yang tak bisa mereka ungkapkan. Mengubah patah hati yang bikin frustasi menjadi layak dijogeti.
Di samping itu, pribadi Didi Kempot yang cenderung terbuka kepada orang lain juga membuatnya masuk di semua kalangan. Ia tak segan menjadi bintang tamu di channel YouTube Gofar Hilman. Meskipun itu berarti sebuah pertaruhan: antara mendapat tenar di kalangan penonton channel Gofar yang mayoritas anak muda ibu kota dan berjarak dengan tembang Jawa, serta mendapat cemooh karena dianggap sebagai pembawa musik kelas pinggiran.
Nyatanya, Didi Kempot sukses. Ia meraih tenar yang lebih setelah hadir dalam channel Gofar. Anak-anak muda di luar Jawa dan tak bisa berbahasa Jawa pun mulai menyukai lagu-lagunya. Internet mendesimenasikan keramahan kepribadiannya berikut merdunya karya-karyanya. Dalam waktu singkat ia pun menjelma sebagai The Godfather of Broken Heart.
Meskipun begitu, satu hal yang tak bisa dilepaskan dari ketenaran Didi Kempot adalah identitasnya sebagai orang Jawa. Ia telah memiliki pasar yang lebih banyak ketimbang musisi-musisi dari wilayah lain. Sebab orang Jawa paling banyak di negeri ini. Jawa sentrisme masih menjadi bagian dari kehidupan bernegara. Namun, menurut saya, sisi ini minor saja. Terbukti banyak musisi berdarah Jawa lain yang tak bisa setenar dia. Lagi-lagi kuncinya kualitas.
Kepergian Didi Kempot yang mendadak berarti hilangnya kualitas itu. Satu lagi maestro mangkat dari bumi Indonesia. Hanya meninggalkan lebih kurang 800 karya lagu yang pernah dibuatnya selama hidup. Lagu-lagu yang, seperti syair Chairil Anwar, hidup 1000 tahun lagi.
Komentar