Pada tulisan sebelumnya saya telah menyampaikan bahwa selama bergaul dengan para narapidana terorisme (napiter) dan mantan napiter, saya menemukan ada dua sebab utama seorang mantan napiter kembali tersandung kasus terorisme. Yaitu, karena belum puas dan karena ditokohkan di kelompoknya.
Sekarang saya ingin mengupasnya lebih jauh.
Bagaimana mungkin orang yang sudah pernah dipenjara melakukan hal-hal yang bisa membuat mereka dipenjara lagi? Bukankah itu menyakitkan? Bukankah itu menyusahkan keluarganya? Bukankah itu menyusahkan diri sendiri? Apa sebenarnya yang mereka cari? Itulah mungkin pertanyaan-pertanyaan kita sebagai orang awam.
Tapi bagaimana jika menurut mereka adalah justru sebaliknya? Penjara tak ubahnya sebagai tempat ibadah yang istimewa. Kesusahan keluarga dianggap sebagai bagian dari perjuangan bersama. Dan status dirinya yang dipenjara justru menjadikan dirinya dielu-elukan oleh para pendukungnya?
Ini sebenarnya sama saja dengan sebagian perempuan yang suka pakai high heels dan memakai pakaian mini di jalanan. Bagi kita yang melihat itu kan tidak nyaman. Menyakitkan. Tapi bagi pemakainya itu dianggap keren meskipun menyakitkan dan tidak nyaman. Bagi pemakainya itu adalah mode fashion paling up to date. Dan mungkin saja si pemakainya justru menganggap kita yang kampungan nggak ngerti mode.
Kembali ke para residivis kasus terorisme.
Memang susah menghadapi orang-orang yang menganggap penjara tak ubahnya sebagai tempat ibadah yang istimewa, kesusahan keluarga sebagai bagian dari perjuangan bersama yang mulia, dan status dirinya yang dipenjara sebagai sebuah kemuliaan.
Menghadapi orang yang seperti ini kita hanya bisa berharap, seiring bertambahnya waktu mereka bisa menemukan jalan yang baru. Mau membuka diri untuk jalan perjuangan yang lain. Yang bisa kita lakukan mungkin sebatas mencoba memberikan wawasan yang baru, berdiskusi yang baik, dan mencoba melibatkannya dalam kegiatan yang bermanfaat bagi umat yang ia sepakati. Dan inilah yang coba dilakukan oleh teman-teman di Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP) dari dulu.
Tapi tidak semua mantan napiter mau menerima kehadiran orang-orang seperti rekan-rekan dari YPP dan dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) lainnya. Dan tidak semua mantan napiter mengetahui aktivitas apa saja yang bisa berisiko untuk ditangkap lagi oleh aparat keamanan.
Masih banyak di antara mantan napiter yang menganggap kembali mengadakan pengajian bersama orang-orang sepemahaman tidak bisa membuat mereka kembali ditangkap. Setidaknya hal ini terjadi pada salah seorang teman yang pernah bareng saya dipenjara dan masuk penjara untuk yang kedua kalinya.
Dari materi dakwaan yang saya dapatkan dari salinan putusan di situs Mahkamah Agung, kronologi kasus yang menjeratnya adalah bahwa ia menjadi orang yang memberikan kajian kepada beberapa orang yang kemudian terlibat aksi terorisme. Padahal tidak lama ia berinteraksi dengan para pelaku aksi terorisme itu. Terhitung hanya 4 bulan saja sejak ia bebas dari penjara.
Ia dianggap sebagai perencana aksi itu dan membantu mengatur pelarian para pelaku. Dianggap perencana karena menyampaikan materi yang semakin memantapkan pemikiran para pelaku. Dan ketika aksi sudah terjadi, ia terpaksa harus membantu pelarian para pelaku.
Teman ini termasuk yang melakukan resedivisme karena ditokohkan. Sebenarnya dia bisa saja menolak tawaran untuk menjadi ustaz bagi orang-orang yang kemudian melakukan aksi terorisme itu. Tetapi mungkin karena terus didesak atau karena tidak ada lagi yang dianggap lebih mampu dari dirinya, ditambah lagi selama dia di penjara orang-orang itulah yang membantu kesulitan keluarganya, dia jadi sulit untuk menolaknya.
Dan sebenarnya ia juga tidak sampai mengajarkan cara menembak atau membuat bom, padahal dirinya mampu. Hanya menjadi mentor saja. Itulah yang mendasari asumsi saya bahwa sangat mungkin ia menganggap menjadi mentor itu tidak bisa membuatnya masuk penjara lagi.
Ada lagi kisah mantan napiter yang masih pengin berjihad tetapi dia sangat paham bahwa Indonesia bukan tempat yang tepat. Ia tak mau dipenjara lagi. Dan ia sangat berhati-hati sekali jika berurusan dengan aktivitas jihad di Indonesia. Maka ketika terbuka jalur menuju Suriah yang dilanda konflik Sunni-Syiah, ia langsung menyambutnya dengan semangat yang menyala-nyala. Dan akhirnya ia pun gugur di sana.
Dari kisah-kisah di atas setidaknya dapat diambil kesimpulan bahwa sebab-sebab seseorang terjerumus kembali dalam kasus terorisme untuk yang kedua kalinya itu masing-masing orang berbeda secara detailnya. Tapi memiliki pola yang umum, yaitu karena belum puas dan karena ditokohkan oleh kelompoknya.
ilustrasi: pixabay.com