Kepanikan terhadap wabah pandemik, covid-19, kini tak hanya terjadi di kota-kota besar di seluruh Indonesia, tetapi juga sudah merambah hingga ke desa-desa. Dan salah satu desa yang merasakan betul dampak wabah ini adalah Sedayulawas.
Sedayulawas sendiri merupakan desa yang terletak di pesisir utara Pulau Jawa dan masuk ke dalam Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur.
Umumnya, warga Sedayulawas juga beberapa desa di pesisir Lamongan berprofesi sebagai nelayan atau buruh kasar. Hanya sedikit saja yang bekerja sebagai pegawai kantoran atau yang memungkinkan bagi masyarakat untuk bekerja di rumah.
Walhasil, meski sudah ada himbauan pemerintah untuk tetap di rumah dan tidak melakukan aktivitas di luar, hal ini tak ubahnya seperti angin lalu saja. Kehidupan tetap normal dan berjalan seperti biasa. Sebab corona hanyalah penyakit untuk orang kota, tak laku dijual di desa. Warung-warung kopi, mulai dari yang terang benderang hingga remang-remang, tetap ramai pengunjung meski anjuran social distancing menggema dimana-mana.
Namun dalam beberapa hari terakhir, suasana kepanikan di Sedayulawas sudah mulai terjadi. Bukan karena adanya kasus corona telah ditemukan di desa ini, melainkan instruksi dari pemerintah daerah melalui perangkat desa untuk tidak lagi mengadakan kegiatan ibadah di masjid-masjid maupun mushollah.
Betul bahwa iimbauan ini tidak lepas dari ancaman wabah pandemik. Namun dengan menutup sementara kegiatan ibadah berjamaah di masjid-masjid maupun musala, bak menabuh genderang perang di tengah umat yang ngeyelan.
Jum’at lalu (3/4), terjadi perdebatan di tingkat ranting Muhammadiyah Sedayulawas perihal apakah ibadah salat Jum’at ditiadakan atau tetap dilaksanakan seperti biasa.
Para pengurus ranting, sepakat bahwa untuk salat Jumat maupun ibadah lain di masjid sementara ditiadakan. Namun beberapa pengurus yang lain, tetap bersikukuh untuk melaksanakan kegiatan di masjid. Mereka yang bersikukuh ini beralasan bahwa mencegah umat Islam beribadah di masjid, tak ubahnya seperti perilaku orang-orang kafir yang menghalangi umat untuk beribadah kepada Tuhannya.
Lebih jauh, mereka menilai bahwa isu corona tak lebih dari propaganda tengik kaum Yahudi, Nasrani dan Komunis untuk menjauhkan umat Islam dari masjid. Dan langkah mereka berhasil, umat Islam di seluruh dunia termasuk di desa-desa seperti di Lamongan menjadi ketakutan untuk sholat berjamaah di masjid.
Meski aparat desa telah menjelaskan bahwa sholat Jum’at di masjid ditiadakan, namun di tingkat akar rumput juga beredar informasi yang lain, sholat Jum’at tetap dilaksanakan. Akibatnya, informasi yang sampai di masyarakat menjadi bias.
Orang-orang tetap berangkat ke masjid. Namun hal tak biasa terjadi disana. Selesai mengumandangkan adzan, tanpa ada ceramah maupun iqomah melalui pengeras suara, tiba-tiba sholat dimulai. Imbasnya, ratusan orang yang hendak berangkat ke masjid terpaksa bubar sebab mendapati sholat sudah berakhir. Mereka kembali ke rumah masing-masing sambil misuh-misuh tidak karuan.
Sebagai orang yang juga mengalami langsung peristiwa tersebut, penulis melihat bahwa hal ini tentu tidak lepas dari sikap aparatur desa yang serba tanggung dalam menyampaikan pesan dan ego kelompok tukang ngeyel dalam menghadapi wabah pandemic ini. Jika sejak awal seluruh komponen sepakat terhadap intruksi yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah maupun MUI, tentu hal-hal seperti ini tidak perlu terjadi. Apalagi jika kondisi ini dihubung-hubungkan dengan berbagai konspirasi ala kelompok sok tahu dan tukang ngeyel tadi.
Intruksi peniadaan ibadah berjamaah di masjid-masjid maupun musala di Kabupaten Lamongan sendiri resmi berlaku sejak Jum’at (3/4).
Hal ini berdasarkan Maklumat Bersama yang ditandatangani oleh Bupati Lamongan, H. Fadeli dan sepakati oleh MUI serta beberapa ketua organisasi Islam wilayah Lamongan. Intruksi ini ditulis menyusul adanya kasus 10 warga Lamongan yang teridentifikasi positif Covid-19. Kasus ini sekaligus menjadikan wilayah Lamongan sebagai zona merah.