Insiden penolakan jenazah korban Covid-19 di Kabupaten Semarang, Kamis (9/4/2020) sekaligus ditangkapnya para provokasi penolakan itu oleh Polda Jateng, Sabtu (11/4/2020), mengoyak kemanusiaan kita, sebagai manusia yang dikaruniai akal dan ilmu pengetahuan.
Semasa hidup, si meninggal itu berprofesi sebagai perawat di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Namanya Nuria Kurniasih, meninggal di usia 38 tahun. Sebelum ajal menjemput, Nuria adalah perawat yang menangani pasien Covid-19, bahkan perawat yang kali pertama menangani pasien Covid-19 di rumah sakit terbesar di Jawa Tengah itu.
Saat akan dimakamkan di dekat kuburan ayahnya, warga setempat menolak. Mobil ambulans sudah tiba, diiringi beberapa kendaraan lain, termasuk mobil pemadam kebakaran hingga pejabat setempat. Namun, warga tetap saja menolak.
Ada ketakutan tersendiri dari sekelompok warga, terutama pandangan mereka soal penularan. Mereka alot dengan argumennya. Akhirnya jenazah si perawat tak jadi di makamkan di sana, dialihkan ke pemakaman Bergota di Kota Semarang. Protokol kesehatan memang sudah mengatur sedemikian rupa, agar jenazah korban Covid-19 harus cepat-cepat dikuburkan.
Di media sosial, insiden ini menjadi viral. Respons warganet beragam, ada yang mendoakan si meninggal, menaruh empati terhadap perawat, memberikan semangat ke para perawat yang lain (yang saat ini di tempat lain juga tengah berjuang merawat pasien Covid-19), dan tak kalah hebat adalah lontaran emosi yang dialamatkan kepada para provokasi penolakan jenazah perawat itu.
Di Indonesia, penolakan terhadap jenazah korban Covid-19 sebenarnya juga terjadi di beberapa daerah lain. Sebut saja; terjadi di Makassar, Sulawesi Selatan, pada Minggu (29/3/2020) dan Selasa (31/3/2020). Penolakan juga terjadi di Banyumas, Jawa Tengah atas korban Covid-19 yang meninggal, Selasa (31/3/2020). Esok harinya, kuburan dibongkar, diambil jenazahnya untuk dipindahkan.
Keprihatinan
Kematian adalah salah satu keprihatinan terdalam manusia, demikian para filsuf memaknainya. Kematian semacam perjalanan suci manusia untuk menemui Tuhan, sebuah momen yang sangat tinggi nilainya.
Apabila terjadi kejahatan saat orang dalam keprihatinan yang mendalam itu, tentu saja jadi refleksi besar kita.
"Apakah kita harus dihakimi dulu sebagai orang jahat atau kita bertindak secara beradab," kata Ahli Hukum Pidana dari Universitas Nusa Cendana Kupang, Bernard L Tanya, saat diskusi di Kantor Rumah Pancasila dan Klinik Hukum, di Kota Semarang, Sabtu (11/4/2020) siang.
Bernard menyebut, ada ancaman pidana bagi siapa saja yang menghalangi, merintangi proses pemakaman. Ada pada Pasal 178 KUHP, ancaman hukumannya 1 bulan 2 minggu.
Pasal itu berbunyi: “Barang siapa dengan sengaja merintangi atau menyusahkan jalan masuk yang tidak terlarang ke suatu tempat pekuburan diancam dengan pidana penjara”
Bernard berargumen, ancaman hukuman itu diandaikan bahwa penghargaan terhadap manusia sejak dia terbentuk sampai meninggal itu tetaplah tinggi.
"Jadi pembuat undang-undang mengancam dengan hukuman yang sangat rendah, karena pengandaiannya manusia tidak mungkin tega melakukan itu (merintangi proses pemakaman)," lanjutnya.
Ancaman hukuman yang rendah itu juga dimaknai, perintangan proses pemakaman tidak dianggap sebagai kejahatan rutin yang membahayakan. Hanya jadi semacam pengaman saja ketika pada kondisi ekstrim tertentu terjadi.
"Makanya kita jadi sedih dan menangis terjadi. Kalau di saat itu (proses pemakaman) kita melakukan kejahatan, apa yang terjadi? Jadi menggugah kemanusiaan kita sebenarnya," lanjut Bernard yang asli dari Pulau Sabu, Nusa Tenggara Timur, itu.
Bernard menegaskan, tidak boleh ada penolakan terhadap jenazah yang akan dimakamkan, terlebih di tempat pemakaman umum.
Tinjauan forensik
Dokter spesialis forensik yang kini bertugas di Mabes Polri, Kombes Pol Dr. dr. Sumy Hastry Purwanti, SpF, pada kesempatan diskusi yang sama, mengemukakan, warga seharusnya tidak perlu ketakutan berlebih saat di lingkungannya ada pemakaman korban meninggal Covid-19.
Protokol kesehatan tentunya sudah diterapkan ketika ada insiden seperti itu. Seperti; kedalaman liang minimal 1,5 meter dan (minimal) berjarak 50 meter dari sumber mata air.
Hastry mengatakan, pihaknya ketika menangani korban meninggal akibat Covid-19 ada beberapa tahapan khusus. Di tempatnya bertugas, yakni di RS Bhayangkara Tingkat I R. Said Sukanto Jakarta, sudah ada protokol khusus dari memeriksa, memulasarkan sampai mengirim jenazah ke pemakaman.
Begitu menerima informasi dari ruang perawatan ada pasien meninggal karena Covid-19, dia dan staf mempersiapkan diri dengan alat pelindung diri (APD) lengkap, mulai dari masker, kaca mata, pelindung rambut, pelindung kepala dan pelindung wajah, baju tertutup lengkap, sarung tangan dan boot.
Selain itu juga disiapkan disinfektan berupa chlorine untuk mensterlikan jenazah di ruangan tersebut. Timnya kemudian membawa kain kafan, plastik dan kantong jenazah ke ruang perawatan.
“Jadi kami berusaha meminimalisir jenazah di ruang perawatan tidak dibawa ke kamar jenazah, supaya tidak kemana-mana virusnya,” kata Hastry yang juga jadi Kepala Instalasi Forensik di RS tersebut.
Di ruang perawatan, jenazah kemudian didisinfektan atau disterilkan, dengan cara; memasukkan kain kasa yang sudah ada alkohol atau chlorine ke tubuh jenazah, semua lubang ditutup.
Setelah itu jenazah kemudian disterlilisasi kembali, disemprot, kemudian ditutup plastik. Jika si jenazah itu Muslim maka akan dikafani, jika non Muslim, Hastry menyebut biasanya ada keluarganya yang titip baju untuk dipakaikan ke jenazah.
Tahapan selanjutnya, jenazah kembali dibungkus plastik, kantong jenazah sebelum dimasukkan ke keranda tertutup. Setelah itu baru dibawa ke kamar jenazah untuk menunggu ambulans mengantar ke pemakaman.
“Jadi sudah aman untuk dikuburkan, kami berburu waktu kematian. Sebab, jika sudah 6 jam waktu kematian, cairan akan keluar dari tubuh jenazah (proses pembusukan) inilah potensi infeksius, kalau sudah masuk ke Bumi (tanah) akan hancur sendiri, kalau semua sudah dilakukan tidak perlu khawatir,” tutup Hastry.
ilustrasi: Pixabay.com
Penolakan Jenazah Perawat Korban Covid-19 yang Menggugah Kemanusiaan Kita
Otherby Eka Setiawan 11 April 2020 9:16 WIB
Komentar