Di Surabaya, Gerak Cepat Bu Risma Bikin Pede Hadapi Pandemi

Other

by Don Bahar

Sudah dua pekan sejak Kota Surabaya ditetapkan sebagai zona merah pandemi Covid-19. Selama kurang lebih 14 hari, denyut nadi Surabaya berangsur-angsur melambat. Jalanan mulai melompong. Kawasan-kawasan langganan macet mulai sepi.

Warga umumnya mematuhi perintah Presiden Joko Widodo untuk melakukan social distancing dan physical distancing. Efek kejut corona langsung terasa. Hanya saja, beberapa kawasan padat penduduk yang banyak anak-anak mudanya seperti di Wiyung, Medokan Ayu (tempat saya tinggal), Perak, masih terlihat ramai anak nongkrong warkop. 

Umumnya mereka memang tidak terlalu memedulikan corona. Virus mematikan ini mereka anggap hanya bahaya untuk para lansia. Mereka yang muda merasa kebal. Makanya tak peduli. Karena itu, tak heran jika video polisi yang membubarkan kerumunan warkop di Wiyung, Surabaya, sampai viral di awal-awal perintah social distancing disampaikan.

Anak-anak muda yang cuek terhadap corona sebenarnya tidak membuat saya kaget. Jujur, saya juga tidak terlalu ambil pusing. Bahkan, beberapa hari setelah Presiden Joko Widodo memerintahkan jaga jarak, saya masih berkeliaran di jalan-jalan. Memang bukan untuk nongkrong di warkop, tapi untuk bekerja. 

Namun, begitu Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa mengumumkan ada beberapa orang positif corona di Surabaya, saya mulai kepikiran juga. Apalagi salah satu warga yang positif tak jauh dari tempat saya tinggal. Lokasi rumahnya di Gunung Anyar Kidul tak sampai 5 kilometer dari tempat saya tinggal. Sejak itu saya langsung mulai menganggapnya serius. 

Untungnya, pemerintah setempat bergerak cepat. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini atau yang akrab disapa Bu Risma termasuk cepat merespons situasi tersebut. Tak perlu waktu lama bagi wali kota perempuan pertama Surabaya itu untuk membuat banyak terobosan. Mulai dari bilik sterilisasi (yang kemudian diikuti pemerintah daerah dan warga lainnya di Indonesia), pembagian jamu peningkat kekebalan tubuh, pembagian nutrisi tambahan untuk warga, dan pembagian alat-alat pencegahan corona hingga ke kelurahan-kelurahan. 

Langkah cepat itu membuat kami, warga Surabaya, tak jadi panik. Takut, iya. Tapi tidak sampai panik. Karena kami tahu bahwa ada orang yang bekerja keras untuk menekan penyebaran corona. Kami sebagai warga tinggal fokus untuk tetap di rumah tapi juga menjaga kekebalan diri. Setiap hari saya minum vitamin C, istirahat yang cukup, dan menjaga kondisi psikis agar tetap positif.

Bagi kami, bekerja dari rumah adalah kemewahan. Tapi tidak bagi mereka yang bekerja di lapangan. Apalagi dengan sistem pengupahan harian. Pernah saya ketemu driver online. Dia mengeluh sehari cuma dapat dua order. Bahkan, hingga pukul 16.00 WIB, dia baru ada satu order. “Padahal, kalau sejak pagi jalan, siang biasanya sudah dapat sekitar 6 order,” kata driver online yang saya temui di Gayungsari, kawasan Surabaya Selatan.

Pantas Bu Risma sejak awal tidak mau melakukan lockdown. Orang-orang seperti ini yang dia bela agar tetap bisa makan. 

Tak hanya driver online, tapi juga pekerja-pekerja di sektor lain. Apalagi di Surabaya. Kota Pahlawan ini, denyut nadi warganya adalah denyut ekonomi. Ini adalah kota kerja. 

Kawasan pertokoan tetap ramai. Terutama pertokoan “konvensional” yang menyediakan barang-barang teknik, bahan bangunan, onderdil motor, dan lain sebagainya seperti di Jalan Tidar, Jalan Raden Saleh, atau Jalan Kedungdoro. Sedangkan kawasan komersial modern seperti Tunjungan Plaza, Pakuwon Trade Center, Pakuwon Mall, sepi. Banyak toko yang sepi.

Paling tidak, untuk di Surabaya, mereka yang bisa #dirumahaja benar-benar serius melakukannya. Sedangkan yang terpaksa harus keluar rumah, tak bisa tidak, harus menunaikan tugasnya untuk mempertahankan periuk nasi keluarga.

Semoga kita semua bisa keluar dari wabah ini dengan selamat. Salam untuk keluarga di rumah dan stay safe, Guys!

Komentar

Tulis Komentar