Pembajakan dan Kegabutan di Tengah Pandemi COVID-19

Other

by Febri Ramdani

Sejak tahun 1995, setiap 23 April dunia memperingati Hari Buku dan Hak Cipta (World Book and Copyright Day). Peringatan ini dicanangkan oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) untuk membangun kesadaran terkait perbukuan, penerbitan dan hak cipta.

Belakangan di saat pandemi virus Corona (COVID-19), banyak sekali masyarakat di berbagai negara mengalami kegabutan. Bingung mau melakukan apa karena diharuskan untuk tetap stay #DiRumahAja. Salah satu alternatif yang bisa dilakukan adalah membaca buku-buku yang sejatinya kita jarang punya kesempatan saat beraktifitas sehari-hari dimana kesibukkan akan pekerjaan sangat menyita waktu.

Khususnya di Indonesia, ketika keinginan membaca itu timbul, dengan sedikit terpaksa, akhirnya mau tidak mau para masyarakat pun melakukannya.

Kenapa saya katakan terpaksa? Pertama tentu saja karena faktor gabut itu tadi.

Hal lainnya adalah, pernah ada satu riset berjudul Program for International Student Assesment (PISA) yang dirilis oleh Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD) tahun 2017 lalu menempatkan Indonesia di urutan ke 60 dari 72 negara dengan minat baca paling rendah.

Penelitian ini melibatkan 540.000 orang berusia 15 tahun dari 72 negara. Hasilnya menunjukkan rendahnya tingkat literasi Indonesia dibanding negara-negara berkembang di dunia. Skor rata-rata membaca siswa Indonesia hanya 490 (skala 0-1.000).

Hal tersebut kembali dipaparkan oleh salah satu pembicara pleno di acara Seminar Nasional Sastra yaitu Sartika Dian Nuraini seorang penulis yang telah cukup lama berkecimpung di dunia literasi. Kegiatan tersebut diadakan di kampus saya pada pada November 2019 lalu. Ia mengatakan bahwa Indonesia berada di urutan ke 61 dari 62 negara perihal minat membaca. Sangat miris sekali mendengar hal itu.

PEMBAJAKAN ITU LAGU LAMA

Terlepas dari rendahnya minat baca yang menimpa negeri Indonesia ini. Kita kembali dibuat sedih dengan yang namanya pembajakan. Ya, seperti kita tahu bahwa pembajakan di Indonesia maupun di dunia ini sudah terjadi sejak lama. Baik itu pembajakan buku, film, musik, karya seni, dsb. Apalagi di masa sekarang yang notabene nya sudah lebih maju dan lebih mudah untuk melakukan tindakan plagiarisme.

Tindakan tersebut bisa dibilang mustahil untuk di lakukan pemusnahan. Sama hal-nya dengan data-data pribadi kita yang telah terunggah ke media sosial. It will last forever.

Ditambah dengan terpaksanya orang-orang yang sedang gabut tadi. Membaca hanyalah sekedar selingan saja menghilangkan kepenatan, mengisi waktu luang, dan sebagainya. Nah, yaudah deh akhirnya seringkali mencari buku-buku bacaan gratisan yang sudah di konversi ke dalam file .pdf. Tersebar banyak di media maya dengan bebas.

Padahal, regulasi terkait pembajakan buku sebenarnya sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Dalam UU tersebut, para pelanggar hak cipta dapat dikenai hukuman pidana maksimal 2 tahun penjara dan denda maksimal 500 juta rupiah.

Sayangnya, kesan yang mengemuka selama ini, negara cenderung cuek pada persoalan penegakan hukum terkait pembajakan buku. Alhasil, para pembajak merasa leluasa menjalankan aksinya tanpa takut ancaman hukuman.

Saya sendiri pun belum lama ini telah merilis sebuah buku pertama saya. Sebuah memoar tentang pengalaman saya saat berada di Suriah selama kurang lebih 11 bulan lamanya. Launching perdana dan bedah buku telah di selenggarakan di Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia pada 11 Februari 2020 lalu.

Tim Ruangobrol.id juga sempat mendokumentasikan acara tersebut dan telah diunggah di akun YouTube Ruangobrol id. Videonya bisa dilihat disini "300 Hari di Bumi Syam, Launching dan Bedah Buku (Part 1)"

Dan tentu saja setelah perilisan buku tersebut, dan buku nya telah bebas beredar di masyarakat, praktek pembajakan bisa menimpa buku saya kapanpun. Lalu jika hal itu benar-benar terjadi kepada buku saya apakah saya harus kesal, marah, atau senewen ?

Well, mungkin hal itu akan membuat saya sedih. Namun, seperti yang telah saya jabarkan diatas tadi, pembajakan itu akan sangat sulit untuk di cegah.

Selain penegakan hukum, pemberantasan pembajakan buku idealnya juga melibatkan pembaca sebagai konsumen utama industri perbukuan. Harus ada langkah nyata untuk mengedukasi dan membangun kesadaran para pembaca agar hanya membaca dan membeli buku-buku asli.

Nah, bagi sobat ngobrol sekalian, selain dari yang telah saya paparkan diatas kira-kira ada gak sih solusi untuk mengatasi hal-hal tersebut? Baik itu untuk menghilangkan kegabutan di masa pandemi Corona (COVID-19) ini atau perihal pembajakan yang telah merajalela.

Silakan berikan komentar kalian dengan klik icon di pojok kanan bawah ya! #StaySafe #DiRumahAja

Komentar

Tulis Komentar