Kemanusiaan dan Ilmu Pengetahuan ketika Bencana Melanda

Other

by Eka Setiawan

Film The Day After Tomorrow (2004), yang saya tonton di kamar kontrakan ketika mematuhi anjuran social distancing akibat Covid-19, ternyata menyisakan banyak hal.

Film fiksi imliah itu bercerita tentang badai besar, tsunami, cuaca ekstrim yang melanda berbagai wilayah Bumi bagian utara, terutama Amerika Serikat akibat pemanasan global.

Mencairnya es abadi di kutub utara membuat samudera Atlantik mengalami penurunan suhu yang drastis, ini menciptakan petaka baru: bencana alam cuaca ekstrim.

Orang-orang meninggal karena dihantam tsunami, badai, tornado hingga membeku karena suhu ekstrim. Ada satu adegan di mana, orang-orang yang sempat selamat karena berlindung di perpustakaan di Amerika Serikat, akhirnya juga turut jadi korban.

Adalah ketika seorang gelandangan yang membawa anjingnya melihat ke luar jendela. Dia melihat ada ratusan orang berjalan di atas salju; ingin menyelamatkan diri.

Informasi itu diberikan ke seorang polisi yang juga ikut bersama ratusan orang lain berlindung di perpustakaan. Tak banyak pertimbangan, polisi itu meminta orang-orang yang ada di perpustakaan untuk keluar gedung, ikut ratusan orang yang sudah ada di luar itu. Berjalan bersama-sama.

Sebuah perintah tanpa pertimbangan ilmiah. Ini sebab, seorang anak yang jadi salah satu tokoh utamanya sempat mencegah. Ayahnya yang ahli iklim menginformasikan kalau suhu dingin akan makin ekstrim sehingga lebih baik tetap di perpustakaan berlindung.

Namun, itu tak dihiraukan polisi itu plus ratusan orang di dalam gedung. Mereka nekat keluar. Akhirnya mereka juga jadi korban. Meninggal karena kedinginan di luar.

Anak tersebut dan beberapa temannya selamat.

Bukan hanya pelajaran tentang perhitungan atau prediksi ahli untuk membuat kebijakan atau perintah, film ini juga mengajarkan soal solidaritas.

Ketika belahan Amerika bagian utara makin dihantam bencana itu, ada anjuran untuk mengungsi ke wilayah selatan; khususnya Mexico. Sempat terjadi polemik di pemerintahan, akhirnya keputusan mengungsi ke Mexico diambil.

Ini semacam hal yang tak biasa. Kalau biasanya orang-orang Mexico masuk ke Amerika, dengan berbagai statusnya, tetapi kali ini terbalik. Orang-orang dari negara “adi daya” mengungsi ke wilayah negara yang disebut negara ketiga.

Di sini kemanusiaan berbicara. Mexico dengan rendah hati menerima gelombang pengungsi dari Amerika Serikat. Meskipun sebenarnya (dalam film itu) Presiden Amerika Serikat berjanji menghapus hutang Mexico, “dibarter” dengan diizinkan masuk wilayah atas alasan keselamatan.

Ya, kisah-kisah di film itu mengajarkan banyak hal. Atas nama kemanusiaan, semua saling bantu. Tapi di sini juga perhitungan ilmiah alias ilmu pengetahuan juga berperan penting untuk keberlangsungan peradaban umat manusia.
ilustrasi: pixabay.com


 

Komentar

Tulis Komentar