Hari Perempuan Internasional Harus Dorong Perempuan Antikekerasan

Other

by Rizka Nurul

Hari Perempuan Internasional jatuh pada 8 Maret 2020. Banyak pihak turut merayakannya mulai dari women march, misalnya. Jakarta termasuk salah satu kota yang merayakannya.

Hari Perempuan Internasional atau International Women's Day (IWD) pertama kali diadakan pada 1909. Saat itu, sebuah pawai besar-besaran terjadi di New York. Pawai tersebut diinisiasi oleh Partai Sosialis Amerika untuk meminta kesetaraan perempuan dalam lingkup sosial-politik.

Pada 1975, PBB mengadakan konferensi perempuan di Mexico City. PBB juga menetapkan 8 Maret sebagai hari perempuan internasional di mana sebelumnya sempat diadakan 19 Maret. Pertemuan tersebut menyerukan antidiskriminasi terhadap perempuan dan kesetaraan hak perempuan.

IWD juga perlu mengangkat catatan di mana ada perempuan yang terjebak dalam lingkaran kekerasan selama beberapa tahun terakhir. Dian Yulia Novi menjadi nama yang paling sering tercetus di mana ia ditangkap 2016. Namun sebelum itu, ada nama Inggrid Wahyu Cahyaning yang ditangkap tahun 2004. Ia diduga terlibat jaringan Aman Abdurahman dalam aksi Bom Cimanggis. Inggrid kemudian dibebaskan setelah melakukan banding pasca mendapatkan vonis 3 tahun penjara.

Setelah Inggrid, beberapa istri pelaku teror turut diboyong Densus 88 dengan delik menyembunyikan informasi. Munfiatun, Putri Munawaroh, Arina Rahma, Deni Camelita, Nurul Azmi Tibyani dan Ruqayyah merupakan daftar istri yang terlibat aksi kekerasan karena suami.

Nurul Azmi menjadi salah satu yang paling mengejutkan. Ia membantu pendanaan untuk kelompok MIT Poso yang dipimpin Santoso. Pada 2012, Nurul me-hack beberapa bank dan mengambil sejumlah uang. Perempuan 39 tahun itu divonis 4 tahun penjara.

Beberapa hari lalu, 3 Pekerja Migran Indonesia di Singapura terlibat pendanaan kelompok teror. Alasannya sederhana, salah satunya dijanjikan menikah oleh sang recruiter. Ia kemudian terkoneksi dengan beberapa perempuan yang juga ingin bergabung dengan kelompok tersebut.

Ini menunjukkan bagaimana kelompok kekerasan masih sering menjadikan perempuan sebagai target rekrutmen. Kebutuhan personel masih menjadi media rekrutmen kelompok ini. Hal ini dilatarbelakangi oleh kurangnya literasi bagi perempuan.

Ketimpangan ini perlu menjadi catatan bagi berbagai pihak untuk lebih mengembangkan pendidikan literasi bagi perempuan. Kesetaraan akses literasi sejauh ini belum menjadi concern padahal kebutuhan tersebut jelas ada di era digital saat ini. Momentum Hari Perempuan Internasional perlu mendorong kesetaraan akses literasi tersebut.

Komentar

Tulis Komentar