Nah, ketika sudah bebas pun para mantan napiter seringkali masih mendapatkan previllege seperti itu meskipun dalam bentuk lain. Misalnya : pengurusan SIM gratis, pengurusan dokumen kependudukan yang dipermudah, mendapatkan bantuan modal dari pemerintah, dikunjungi para pejabat keamanan dan pemerintahan, dan lain sebagainya. (tapi di beberapa tempat ternyata memang tidak semuanya mendapat kemudahan yang demikian)
Bahkan di suatu daerah ada yang sampai diberangkatkan umrah lho. Hal-hal seperti itulah yang terkadang menimbulkan kecemburuan sosial bagi sebagian kalangan masyarakat.
Meskipun untuk mendapatkan previllege seperti itu tentunya harus memenuhi berbagai persyaratan, tapi tak urung hal itu juga menimbulkan kecemburuan sosial. Yang paling tajam dan menjadi kritik keras adalah kecemburuan dari para korban aksi teror.
Ada cerita dari salah satu korban Bom Bali 1 bahwa dulu setiap kali mendengar berita para mantan napiter mendapatkan bantuan, pelatihan, dan kunjungan dari pejabat tekait, mereka merasa sakit hati. Karena mereka tidak mendapat perlakuan yang sama. Bahkan dalam beberapa kondisi cenderung dipersulit. Wajar sekali menurut saya.
Apalagi setelah mendengar kisah pilunya memperjuangkan haknya untuk mendapatkan pengobatan dan pendampingan psikologi. Bahkan anak sulung laki-lakinya yang susah cari kerja sempat bilang pengin jadi teroris biar diperhatikan pemerintah. Ini masalah menurut saya.
Baru di tahun 2018 terbit undang-undang terorisme yang baru yang mengatur juga tentang kewajiban pemerintah terhadap para korban. Dan di tahun 2019 barulah mulai direalisasikan sedikit demi sedikit.
Dan hari ini ketika ada wacana untuk memulangkan anak-anak yatim patu eks ISIS di mana pemerintah akan menyekolahkan mereka dan menanggung biaya hidup mereka selama menjalani pendidikan atau sampai mereka bisa dilepas ke masyarakat, tak urung menimbulkan kritik lagi dari sebagian masyarakat kita.
Sudahkah para korban aksi terorisme diperlakukan dengan baik sesuai haknya oleh pemerintah?
Saya sebagai mantan pendukung aksi terorisme, setuju dengan kritik di atas. Mohon kiranya pemerintah memenuhi hak para korban terorisme juga. Mereka juga butuh perhatian ekstra. Mereka patut kecewa kepada pemerintah jika lebih mengutamakan pencegahan tindakan terorisme kepada para napiter dan mantan napiter.
Apalagi dalam kasus rencana pemulangan anak-anak eks ISIS itu yang tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Banyak yang mengkritiknya dengan membandingkan perlakuan pemerintah terhaap keluarga korban aksi teror.
Betul bahwa pencegahan itu penting. Pembinaan para mantan napiter itu juga penting. Tapi bukankah sebaiknya bisa dilakukan beriringan dengan pemenuhan hak para korban teror?
Saya sebagai mantan pendukung aksi terorisme ikut merasa tidak nyaman. Saya merasa terpanggil untuk ikut memperjuangkan nasib para korban teror sebagai salah satu bentuk taubat saya. Ya. Benar. Saya sangat ingin melakukannya.
Tapi mungkin untuk saat ini saya harus menyelesaikan misi saya untuk edukasi masyarakat terkait isu radikalisme-terorisme terlebih dahulu. Secara pribadi saya mentargetkan tahun depan saya ingin terlibat aktif membantu para korban. Sejauh ini belum banyak mantan napiter yang ikut aktif di pihak korban.
Bagi saya, maaf dari mereka untuk kami para pelaku adalah sebuah kebesaran jiwa yang mengagumkan. Dan saya pribadi merasa perlu membalas kebesaran jiwa mereka itu dengan ikut memperjuangkan nasib mereka. Mudah-mudahan ada pihak yang mau membantu memfasilitasi keinginan saya ini.
ilustrasi: pixabay.com