Hosni Mubarak Sang Singa Mesir itu Wafat

Other

by Ahsan Ridhoi

“Mesir bukan Amerika Serikat. Masyarakat di sini belum siap dengan demokrasi,” ujar Hosni Mubarak dalam sebuah wawancara dengan The New York Times pada 1993. Ia menanggap pemerintahan otoriter di bawah kendalinya paling pas bagi Mesir untuk melewati masa-masa krisis dan memajukan ekonomi.

18 tahun kemudian, pada 2011, Mubarak kembali menegaskan kalimatnya kepada publik Mesir yang berunjuk rasa di Tahrir Square untuk memintanya mundur. Mubarak berkata, sebagai tentara mundur adalah bentuk kepengecutan dan lari dari tanggung jawab. Ia memutuska tetap bertahan dan mengabaikan protes yang terjadi.

“Pernyataan saya adalah bentuk kasih sayang seorang bapak kepada anak-anaknya. Mesir selalu ada di hati saya,” tegas Mubarak.

Namun, ucapannya tak menciutkan nyali para demonstran yang berkumpul di Tahrir Square. Massa rakyat membalas pidato Mubarak dengan teriakan menuntutnya segera lengser. Pada hari ke-18 unjuk rasa, setelah ratusan orang meninggal, akhirnya mundur. Hari itu, 11 Februari 2011, 30 tahun kepemimpinan Mubarak berakhir.

Mohammad Morsi, tokoh Ikhwanul Muslimin, naik sebagai presiden menggantikan Hosni Mubarak. Ia memproses hukum Mubarak sebagai penyebab kematian ratusan orang demonstran. Pada 2017, setelah Morsi dilengserkan tentara lainnya, Jenderal As-Sisi yang kemudian menjadi presiden, tuntutan pada Mubarak dibatalkan. Mubarak bebas.

Setelah bebas, Mubarak nyaris tak muncul ke publik. Sampai akhirnya Selasa, 25 Februari 2020 malam waktu Mesir, ia meninggal dunia di rumah sakit militer Maadi, Mesir Selatan, di usia 91 tahun.

Hosni Mubarak lahir pada 4 Mei 1928 di Desa Kafr el-Museiliha, sebuah desa terpencil di dekat sungai Nil yang juga tempat kelahiran mantan Presiden Mesir Anwar Sadat. Ayahnya adalah seorang pegawai negeri di Kementerian Keadilan Mesir. Namun, ia memilih jalan lain dengan masuk ke akademi militer.

Di militer, Mubarak memilih matra angkatan udara. Ia lulus pelatihan tempur udara di Uni Soviet pada 1972. Setahun setelahnya, ia memimpin pasukan udara Mesir saat menyerang Israel untuk mengamankan jalur angkatan darat Mesir di Terusan Suez.

Sebagian orang menganggap serangannya di operasi perang Mesir-Israel gagal, karena banyak jet tempur pasukannya jatuh oleh jet tempur Israel. Israel pun bisa memukul mundur pasukan darat Mesir.

Namun, tidak bagi Anwar Sadat. Dalam autobiografinya, Sadat menyebut Mubarak sebagai tentara yang sukses melaksanakan operasi di perang tersebut. Beberapa tahun setelahnya, Sadat mengangkat Mubarak sebagai wakil presiden mendampinginya.

Mubarak setia kepada Sadat. Ia adalah kunci stabilitas kepemimpinan Sadat. Tugasnya merapikan militer dan Partai Nasional Demokrasi Mesir. Posisinya pentingnya ini membuat Mubarak menjadi target pembunuhan milisi muslim yang tak puas dengan rezim Sadat.

Pada hari naas terbunuhnya Sadat, Mubarak duduk di sampingnya. Sadat meninggal karena luka tembak di hampir seluruh badannya, tapi Mubarak selamat. Setelah itu, ia naik menjadi presiden menggantikan kawan sekampungnya.

Trauma percobaan pembunuhan membuat Mubarak sulit percaya pada orang-orang di sekitarnya. Ia membatasi kepemimpinannya pada sekelompok kecil, terutama anaknya: Gaala Mubarak. Ia pun mengutamakan stabilitas.

Hal ini membuat kepemimpinannya otoriter. Kritik boleh, tapi tidak pengerahan massa ke jalan. Ikhwanul Muslimin diberangus pergerakannya dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Sebaliknya, ia mencoba merebut simpati Islamis dengan menggandeng Salafi.

Kegarangan Mubarak, terutama dalam Perang Teluk membantu Kuwait menghadapi Irak, membuatnya dijuluki singa dari Mesir oleh Barat. Ia dianggap mampu mengimbangi Saddam Husein dan Moamar Khadafi yang getol menentang Barat. Mubarak memang menjalin relasi baik dengan Barat, khususnya Amerika Serikat.

Hosni Mubarak yang meginisiasi perdamaian Mesir-Israel dan mendorong perdamaian Israel-Palestina pada medio 1990-an. Keputusan yang mendapat pujian dari Barat, tapi ditentang Khadafi, Sadam dan pemimpin Iran.

Ekonomi Mesir di bawah Mubarak mengalami fluktuasi. Ia memimpin dengan mewarisi utang era Sadat sebesar 50 juta dollar Amerika dan semakin terpuruk dalam perjalanan kepemimpinannya. Kemudian ia mengambil langkah membuka pasar dan privatisasi aset nasional. Atas nama ekonomi pula, ia semakin gencar melakukan represi. Ia beranggapan stabilitas keamanan nasional penting untuk kemajuan ekonomi.

Sikap tersebut membuat dukungan terhadapnya menurun, kecuali militer ia nyaris tak mendapat dukungan sipil. Partainya gagal ia kendalikan. Sampai akhirnya gelombang Arab Spring bergulir dimulai di Tunisia. Ben Ali, pemimpin Tunisia tumbang. Dalam hitungan bulan gerakan itu sampai ke Mesir dan gagal ditangkal Hosni Mubarak. Ia jatuh di tangan rakyatnya sendiri. Singa itu berhenti mengaum. Kini, ia berhenti mengaum selamanya. Menyusul dua singa lainnya, Khadafi dan Saddam.

Komentar

Tulis Komentar