Kisah Proses Reintegrasi Seorang Mantan Foreign Terrorist Fighter ISIS (1)

Other

by Arif Budi Setyawan

Setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan. Dan setiap yang pernah melakukan kesalahan pasti menginginkan kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya. Tapi bagaimana jika orang-orang di sekitarnya tidak mau memberikan kesempatan untuk memperbaikinya?


Bagi yang pernah dipecat dari pekerjaan karena melakukan sebuah kesalahan tanpa diberi kesempatan untuk memperbaiki atau menebus kesalahannya, sedikit banyak pasti merasakan sakit hati dan kecewa pada pimpinan perusahaan bukan? Dan tak sedikit yang kemudian menyimpan dendam dan kedengkian terhadap perusahaan yang memecatnya itu. Lalu mencari-cari cara untuk menjatuhkan perusahaan itu.


Berangkat dari pemikiran bahwa memberikan kesempatan kedua dan membimbing orang yang penah melakukan kesalahan adalah sebuah perbuatan mulia tapi masih jarang yang melakukannya, dan pengalaman pribadi pernah menjadi napiter yang ingin kembali ke jalan yang benar, saya kemudian merasa terpanggil untuk melakukan pendampingan dan bimbingan kepada beberapa narapidana terorisme (napiter) yang ada di wilayah Jawa Timur.


Salah satu klien pertama saya adalah seorang mantan Foreign Terrorist Fighter (FTF) ISIS yang merupakan salah satu anggota kelompok Abu Jandal alias Salim Mubarok at Tamimi. Ia termasuk kelompok pertama orang Indonesia yang pergi ke Syiria di tahun 2013. Pada waktu itu narasi tujuan mereka adalah membantu saudara muslim Sunni yang diperangi oleh rezim Syiah Nushairiyah pimpinan Basyar As’ad.


Saya sering datang mengunjunginya di Lapas sejak bulan Maret 2019 sampai menjelang kebebasannya beberapa bulan yang lalu. Ia memang orang ingin sekali berjihad membela kaum muslimin yang sedang diperangi oleh orang kafir. Tapi sama sekali tidak sepakat dengan jihad yang dilakukan di Indonesia yang merupakan negeri yang damai.


Itulah mengapa ia ketika kembali lagi ke Indonesia, sama sekali tidak melakukan tindakan apapun yang berbau jihad. Ia ditangkap karena mengikuti pelatihan perang bersama ISIS, bukan karena melakukan tindakan ‘teror’ di Indonesia. Dan ketika di penjara ia justru harus berhadapan dengan orang-orang yang ngotot menganggap Indonesia adalah medan perang mereka. Di mana hal ini cukup membuatnya sangat tertekan.


Berikut ini adalah kisah bagaimana proses ia bisa berangkat ke Syiria, bagaimana pergolakan yang ia hadapi di penjara, sampai ia akhirnya mantap dengan pilihannya untuk menjauhi orang-orang yang menganggap Indonesia sebagai medan perang.


Latar Belakang dan Pendidikan


Sebut saja dia dengan nama Farhan (bukan nama sebenarnya). Seorang pemuda keturunan etnis Arab asal sebuah kota di Jawa Timur yang saat ini berumur 28 tahun, anak kelima dari enam bersaudara. Pendidikan terakhir S1 Teknik Informatika sebuah universitas terkemuka di Jawa Timur.


Pada saat ditangkap Densus ia sedang akan memulai kuliah S2 mengambil jurusan/prodi Digital Forensik. Hal ini ia lakukan setelah menikah sepulang dari Suriah dengan tujuan ingin lebih mendalami digital forensik yang telah banyak ia kuasai sebelumnya sekaligus untuk mendapatkan sertifikasi dari bidang keahliannya itu.


Kakek dari jalur ibunya masih ada di Saudi, dan ia memiliki banyak kerabat di Saudi sana. Mereka yang di Saudi itu kebanyakan adalah keluarga kaya, karena setiap bulan Ramadhan dan Dzulhijjah mereka memiliki tradisi mengeluarkan zakat mal dan shadaqah dari masing-masing orang yang besarnya cukup untuk membangun sebuah masjid kampung lengkap dengan AC dan ambulan.


Sebelum ditangkap oleh Densus 88 ia ditunjuk sebagai pengelola dari setiap zakat dan shadaqah dari keluarga besarnya yang di Saudi sana untuk disalurkan ke daerah yang membutuhkan masjid di Indonesia. Itu sudah menjadi program tahunan keluarga besarnya.


Kelak di kampung istrinya itu kebetulan ada beberapa anggota kelompok pelaku Bom Thamrin yang tinggal di sekitarnya, di mana ia kemudian dianggap sebagai orang yang memiliki jaringan pendanaan internasional gara-gara ia menyalurkan shodaqah dari kerabatnya di Saudi untuk pembangunan masjid di daerah itu.


Lebih konyol lagi dalam BAP pelaku Bom Thamrin itu ada disebutkan bahwa mereka menyebut Farhan akan membeli persenjataan untuk melakukan teror di Indonesia.


Padahal Farhan sama sekali tidak ada niatan untuk membuat aksi di Indonesia karena menurutnya jihad itu hanya ada di wilayah konflik seperti Suriah. Namun gara-gara asumsi sesat dan tidak terkonfirmasi, kelompok pelaku Bom Thamrin menyeretnya dalam kasus Bom Thamrin yang sama sekali tidak diketahuinya.


Di BAP pun akhirnya pasal yang dituduhkan bukan kasus Bom Thamrin, melainkan kasus pelatihannya di Suriah yang memang diakuinya.


Yang menjengkelkan adalah di persidangan ketika para pelaku Bom Thamrin jadi saksinya, keterangannya justru memberatkannya. Yaitu menyebut bahwa kalau teror yang dilakukan oleh kelompok Thamrin itu adalah skalanya lokal saja, sedangkan Farhan malah skala internasional.


(Bersambung)



ilustrasi: pixabay.com

Komentar

Tulis Komentar