Kelompok Radikal Menyusup Lewat CPNS?

Other

by Rizka Nurul

Selama Februari, beberapa kementerian dan lembaga negara disibukkan oleh Seleksi Kemampuan Dasar (SKD) sebagai rangkaian seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Jutaan peserta SKD ini berhasil mengalahkan jutaan lainnya dalam seleksi administrasi akhir tahun lalu.

Jadwal seleksi ini sebenarnya cukup telat dibandingkan tahun sebelumnya di mana akhir tahun justru rangkaian seleksi telah selesai. Namun tahun ini, SKD baru dilaksanakan 2 bulan setelah seleksi administrasi. Hal ini dipengaruhi oleh keluarnya Surat Keputusan Bersama (SKB) 11 Menteri mengenai anti terorisme dan radikalisme.

SKB yang dirilis November 2019 ini tampaknya menitikberatkan kepada aparat negara atau ASN. Kementerian dan Lembaga yang terlibat adalah Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Intelijen Negara, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, Badan Kepegawaian Negara, dan Komisi Aparatur Sipil Negara.

Isi SKB ini cukup merinci. Beberapa pihak menyatakan ini mirip orde baru. Ada pasal yang membatasi media sosial ASN di mana larangan memberikan like, love, retweet atau share segala postingan mengenai khilafah, anti-NKRI, dan perlawanan terhadap ideologi Pancasila. Oleh karena itu, media sosial ASN akan didata dan diawasi.

ASN juga ditekankan untuk tidak melakukan penyebaran kebencian terhadap SARA baik lisan maupun tulisan. Penggunaan atribut yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah juga dilarang.

Isi SKB 11 Menteri ini menjadi salah satu muatan dalam SKD CPNS. Arya, peserta seleksi CPNS ini menceritakan bahwa pertanyaan dalam TWK (Tes Wawasan Kebangsaan) saat ini mengarah kepada asumsi pemerintah. "Ada pertanyaan tentang anti ideologi Pancasila, terus pro NKRI, ujaran kebencian oleh ASN juga ada. Jadi pandangannya bagaimana kalau kita sebagai pemerintah," Arya menjelaskan. Menurutnya, tahun sebelumnya justru pertanyaan TWK lebih kepada pasal-pasal UUD atau Peraturan pemerintah. "Lebih gampang sih, tapi lebih rawan salah," komentarnya.

PNS dan Radikalisme - Terorisme


Pada 2018, dikutip dari BBC, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarat dan Rumah Kebangsaan merilis ada 41 masjid di lingkaran pemerintahan yang terpapar radikalisme. Selanjutnya, BNPT dan BIN mengafirmasi bahwa dakwah di masjid Kementerian mengarah kepada ajakan ke Suriah, Marawi dan ayat-ayat perang.

Apakah benar hal itu terjadi? Tim ruangobrol.id pernah mendengar rekaman ceramah yang ada tiga kementerian dan lembaga negara berbeda pada 2018 lalu. Ceramah pertama berisi mengenai hujatan terhadap pemerintah Myanmar atas Rohingya. Ceramah kedua berisi ajakan melawan kezaliman di sekitarnya, termasuk jika dilakukan dengan atasan dengan nada keras. Rekaman ketiga, ceramah berisi duka warga Palestina.

Memang belum ada bukti apakah ASN kementerian/lembaga negara tersebut kemudian bergabung dalam kelompok radikal atau teroris. Justru kasus ada pada ASN di daerah.

Angga, terduga teroris di Semarang merupakan seorang ASN. Pria 35 tahun tersebut dibekuk oleh Densus 88 pada 4 Agustus 2018. Mantan PNS RSUD Kendal ini terlibat dalam aksi Bom di Surabaya. Pada tanggal yang sama, Eka Puput Warsa juga ditangkap di Banyuwangi. PNS Aktif di Politeknik Negeri Banyuwangi itu juga terlibat aksi Bom di Surabaya tahun 2018.

Tahun lalu, seorang anggota kepolisian terlibat dalam jaringan terorisme. Bripda Nesti langsung dipecat sebagai ASN pasca terbukti menjadi calon pengebom.

Jauh sebelumnya, ada Yudi Zul Fahri, ASN lulusan IPDN yang terlibat pelatihan Teroris di Aceh. Yudi ditangkap pada tahun 2005 ketika ia justru baru menjadi pegawai negeri sipil di Aceh.

Kecurigaan di kementerian dan lembaga negara memang patut diwaspadai. Dari pemikiran fundamentalis bisa mengacu pada radikalis dan ekstrimis. Namun, ini juga patut menjadi perhatian hingga daerah.

Jika PP No 21 Tahun 1975 tentang Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil dan PP No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil diterapkan secara konsisten, maka SKB 11 Menteri tampaknya tidak perlu. Sumpah/Janji PNS jelas tercantum bahwa akan taat dan setia kepada Pancasila, UUD 1945, Negara dan Pemerintah. Sehingga dukungan terhadap sistem lain di luar Pancasila dan UUD 1945 adalah larangan mutlak dalam bentuk apa pun. Pemberhentian sah dilaksanakan tanpa perlu meninjau hal lain.

Belum ada tindakan tegas juga atas hal ini. Pasca keluarnya larangan Organisasi HTI tahun 2017, M Nasir, Menristekdikti periode lalu, hanya mengimbau eks HTI agar mengundurkan diri dari ASN. Bahkan Tjahjo Kumolo sempat mengatakan bahwa ASN boleh mengikuti Demonstrasi 212 pada tahun 2016 ketika ia menjadi Menteri Dalam Negeri. Pandangan tersebut berubah tahun 2018 dimana ia melarang ASN mengikuti Reuni 212.

Upaya pencegahan keterlibatan ASN melalui tes CPNS tampaknya bukanlah solusi yang tepat. Mereka yang lulus tes administrasi bisa jadi dipastikan paham bagaimana menangani pertanyaan formal di pertanyaan seleksi bahkan dalam wawancara.

Pemerintah tentu bisa melakukan peninjauan secara berkala atau appraisal untuk ASN yang dilakukan oleh bagian SDM masing-masing lembaga. Seleksi ketat anti radikalisme untuk bagian SDM dan pimpinan yang perlu dilakukan oleh negara untuk memfilter SDM tersebut.

Teroris Betulan Tak Mungkin CPNS


Dalam Fatwa yang dikeluarkan Aman Abdurahman tahun 2017, semua Pegawai Negeri Sipil dan pegawai pemerintahan adalah kafir. Aman lebih lanjut menjelaskan bahkan seorang pembuat teh juga merupakan bagian dari kafir walaupun ia tak bersumpah. Hal ini masih dipercaya oleh pendukung ISIS hingga saat ini.

Begitupun dengan Al Qaida yang menganggap bahwa pemerintah adalah Thaghut. Anggapan ini berasal dari sumpah/janji ASN untuk patuh terhadap Pancasila dan UUD 1945. Mereka menganggap itu sebagai berhala yang disembah dan tidak menggunakan hukum islam.

Lain halnya dengan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Organisasi ini masih sibuk mengampanyekan khilafah meskipun telah dibubarkan oleh pemerintah. Ismail Yusanto mengatakan bahwa khilafah hanya sistem alternatif yang ditawarkan. Tampaknya HTI melihat sah-sah saja menjadi ASN karena bisa jadi sarana dakwah.

Beberapa dosen di beberapa perguruan tinggi bergengsi diduga terlibat dalam organisasi HTI. Meski kecaman sering dilontarkan, namun makan dari uang negara adalah bagian dari ikhtiar hidup.

Komentar

Tulis Komentar