Review Novel
Dalam cerita novel ini, penyamun –dengan Medasing sebagai perwakilannya—digambarkan lebih sebagai kalangan yang sekadar tinggal di hutan belantara dan hanya tahu menyamun sebagai satu-satunya cara bertahan hidup.
Lebih kentara lagi, kepolosan mereka justru tampak dalam cara mereka bersikap terhadap perempuan, Sayu. Naluri seksual tidak sedikit pun tersirat dalam tindakannya. Di sini penyamun lebih tampak seperti anak rimba yang bertindak kasar karena tidak tahu ada cara bertindak lain.
Kisah ini seolah menyatakan bahwa pengetahuan (dalam arti yang luas) diperoleh manusia lewat belajar. Bahkan, hal semacam seks pun tumbuh karena dipelajari terlebih dahulu. Gerombolan Medasing sama sekali tidak tampak memiliki naluri seksual, sedangkan Samad melakukan tipu muslihat pada mereka dan Sayu dilandasi oleh naluri seksual.
Perbedaan di antara mereka adalah gerombolan Medasing tinggal di hutan, tidak bersentuhan dengan peradaban, kecuali kalau mereka sedang menyamun, sedangkan Samad terbiasa tinggal di tengah peradaban.
Di sini, berdasarkan keterangan-keterangan tersebut, naluri seksual didapatkan Samad bisa jadi dari interaksinya dengan peradaban. Gerombolan Medasing yang tidak pernah mempelajarinya dari peradaban tidak memiliki naluri seksual. Hal yang lain adalah siasat dan, lebih jauh lagi, muslihat. Di sini mereka digambarkan tidak tahu bahwa manusia bisa bersiasat dalam batinnya.
Di sisi lain, Samad adalah orang yang telah bersentuhan dengan peradaban digambarkan sangat penuh muslihat dalam batinnya. Novel ini seolah menyatakan bahwa saat lahir, manusia adalah suatu wadah kosong. Apa pun yang kemudian berkaitan dengannya didapatkan lewat belajar.
Lewat penyandingan Medasing dan Samad, novel ini hendak mengajukan persoalan benar dan salah. Pada akhirnya Medasing, yang telah kembali ke peradaban dan mengganti namanya menjadi Karim, hidup bahagia dan menjadi orang terpandang –dia menjadi seorang pesirah, sedangkan Samad hidup susah. Ketika mereka bertemu kembali, Medasing tetap menolong Samad. Di sinilah hitam dan putih digambarkan secara tegas. Yang berbuat buruk, Samad, akan hidup susah. Sedangkan yang berbuat baik, Medasing, akan hidup bahagia.
Pelajaran dari kisah novel “Anak Perawan di Sarang Penyamun”
Dari review di atas dapat diambil sebuah pelajaran tentang proses perjalanan hidup yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan di mana orang itu berada. Tanpa literasi sejatinya manusia hanya akan mengikuti pola kehidupan yang ia lihat sehari-hari.
Medasing dan anak buahnya yang hanya tahu menyamun sebagai satu-satunya pekerjaan adalah perwakilan kepolosan sekaligus kebodohan. Ini masih mending daripada Samad yang melek peradaban dan berpengetahuan namun punya pikiran licik dan hasrat tercela.
Yang terbaik adalah yang diwakili sosok Sayu. Orang yang berperadaban namun punya hati yang tulus untuk menolong siapa saja yang membutuhkan pertolongan. Bahkan terhadap orang yang telah membunuh ayah dan menyekapnya.
Sayu bisa memahami mengapa Medasing bisa menjadi pimpinan kelompok penyamun. Dia memaklumi sebab mereka bisa menjadi penyamun. Sehingga ia yakin, mereka bisa berubah jika diajari dan dibimbing dengan benar. Dan ia kemudian membuktikan keyakinannya itu ketika ia menjadikan usahanya merawat Medasing yang terluka parah sebagai pintu masuk untuk menyadarkan Medasing.
Kasus Medasing ini juga terjadi pada beberapa ‘teroris’ yang kemudian menyadari bahwa apa yang dilakukan selama ini salah. Banyak di antara mereka yang melakukan hal itu (tindak pidana terorisme) karena mereka hanya tahu itu satu-satunya jalan perjuangan yang benar. Hal ini akibat dari doktrin dan sempitnya literasi mereka.
Kita memerlukan banyak sosok seperti Sayu untuk membuat seorang ‘teroris’ menyadari kesalahannya. Kita memerlukan sosok-sosok seperti Sayu yang berjiwa besar, yang mau memahami proses seseorang jadi ‘teroris’ sehingga bersedia membimbing. Bukan hanya pandai mencela dan mencaci.
Betapa banyak di antara kita yang lebih pandai berkomentar -apalagi komentarnya negatif – dan mencela, tapi tak tahu apa solusi dari permasalahan yang dikomentari atau dicela itu.
ilustrasi: pixabay.com
Komentar