Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menegaskan tidak akan memulangkan para warga negara Indonesia (WNI) eks simpatisan ISIS yang saat ini berada di perbatasan Siria. Namun, masih dibuka opsi tentang anak-anak, perempuan dan yatim piatu.
Pernyataan itu memang “menyudahi” polemik yang sempat memanas tentang apakah mereka akan dipulangkan atau tidak. Namun demikian, perlu dilakukan langkah konkrit dari sekarang: mengidentifikasi mereka sedetil mungkin seiring negara ini menyiapkan infrastruktur yang ada untuk penanganan mereka nantinya jika memang kembali.
Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail, berargumen narasi yang lebih tepat sekarang bukan persoalan akan dipulangkan atau tidak.
“Tapi apakah kita sebagai bangsa itu mau mendeteksi atau tidak dari orang-orang (WNI) ISIS yang ada di sana. Harus terdeteksi betul, detil, apakah ‘macan’ atau ‘kucing’,” ungkap Huda, seperti juga dikatakannya saat perbincangan dengan KBR, Senin (17/2/2020).
Hal itu dikatakan Huda, berdasarkan fakta, ada beberapa dari mereka yang sudah pulang sendiri ke Indonesia. Huda menyebutkan, ketika mendokumentasikan evakuasi bersama Kementerian Luar Negeri RI pada tahun 2017 lalu, ada juga beberapa yang ternyata sudah kembali ke Indonesia. Salah satunya yang berasal dari Jawa Barat.
“Ini fakta, bukan teori. Ada juga yang ada di Jawa Timur,” lanjutnya.
Selain itu, Huda juga menegaskan ketika ada proses kembali, maka asusmsinya bukan hanya kembali ke Indonesia. Bisa saja mereka bersebaran ke negara-negara yang lebih longgar, misalnya negara bekas konflik seperti Libya. Atau juga masuk ke Marawi, ke Moro di Filipina.
“Pintu perbatasan kita kan banyak banget. Jangan juga dibayangkan pintu masuknya cuma Jakarta. Bukan hanya Sukarno-Hatta, bisa jadi lewat Malaysia – Sabah, bisa jadi lewat Sumatera – Medan, karena jalur tikusnya itu ada beberapa. Jadi proses deteksi ini penting, jangan sampai jadi bom waktu nantinya,” sambungnya.
Perihal keputusan pemerintah yang menimbang opsi pemulangan fokus pada perempuan dan anak-anak, Huda menyebutkan itu adalah langkah awal bagus.
Namun, jangan sampai proses pendataan hanya seputaran nama belaka. Perlu proses asesmen termasuk melalui proses wawancara mendalam kepada mereka.
“Jadi data hanya nama. Kalau dengan surat diplomatik, kita sudah dengan UNHCR, ada sekira 196 nama yang bisa kita identifikasi, tapi itu baru nama doang, nggak tahu siapa sebetulnya mereka ini,” lanjut pimpinan ruangobrol.id ini.
Sebab itulah, Huda menyebut saat ini pemerintah perlu melakukan langkah-langkah konkrit untuk identifikasi sedetil mungkin. Dia mencontohkan, misalnya ada program dari negara di lokasi mereka untuk melakukan indepth interview seiring di internal melakukan berbagai persiapan.
Tak kalah penting adalah keluarga dan masyarakat tempat mereka tinggal dan berasal, juga mau tidak mau harus siap jika nantinya mereka kembali.
Pada konteks keluarga, sebab, tak semuanya yang berangkat ke Siria itu satu keluarga lengkap. Perlu dipikirkan pula tentang adanya anak-anak yang lahir di sana, sebab ada pula pernikahan-pernikahan yang terjadi di sana hingga lahirlah bayi-bayi di tengah konflik.
“Itu permasalahan kompleks yang harus didiskusikan bersama, ini gimana? Ada data 43 bayi yang lahir di sana, belum tentu juga orangtuanya orang Indonesia. Misalnya; orangtuanya kawin dengan orang asing. Ada dari Depok, kawin dengan orang Timur Tengah, terus anaknya gimana itu? dan itu bukan 1 atau 2 kasus,” beber Huda.
Melawan Narasi
Kelompok ISIS menyebarkan narasi-narasi propaganda mereka untuk memikat “calon pengikutnya” dengan berbagai cara. Misalnya; iming-iming soal pernikahan, penghasilan hingga pendidikan gratis.
Di sinilah, ISIS hendak membangun sebuah pranata sosial baru. Aneka narasi itu kemudian disebarluaskan di media sosial: mengubah media sosial menjadi platform perekrutan anggota.
“Kita perlu credibel voice untuk melawan narasi-narasi bohong itu. Di ruangobrol.id, yang isi di ruangobrol.id (tulisan) itu (beberapa) yang pernah lihat langsung kemunafikan ISIS,” lanjut Huda.
Program seperti ini, amatlah penting. Ketika memang mereka akan pulang dan terdeteksi dengan detil, perlu pendampingan yang bagus kemudian melatih mereka untuk kerja-kerja kontra narasi ISIS.
“Ke depan akan ada hal yang sama tapi bentuknya berbeda (seperti kelompok ISIS). Di sinilah perlu berpikir kritis, merayakat perbedaan dan belajar sejarah,” tegasnya.
Foto ruangobrol.id: Kondisi kamp pengungsi di Jabal Kili Siria
Perihal Ratusan WNI di Siria: Perlu Deteksi Detil hingga Kerja-Kerja Kontra Narasi
Otherby Eka Setiawan 18 Februari 2020 1:22 WIB
Komentar