Seorang pemimpin operasi militer atau pemimpin sebuah program/proyek yang baik akan selalu berfikir “How if…” sebagai acuan untuk mitigasi risiko atau kondisi tak diinginkan yang mungkin terjadi. Semakin banyak “How if…” yang dipikirkan akan semakin baik.
Dalam membuat sebuah bangunan pun seorang arsitek akan memikirkan untuk mengakomodir kondisi-kondisi darurat yang mungkin terjadi. Misalnya; merancang titik kumpul, jalur evakuasi hingga tata letak peralatan pemadam kebakaran.
Saya ingin mengajak Anda untuk mencoba memikirkan sebuah kondisi di mana kita tidak bisa menolaknya. Bagaimana jika saya mengajak Anda untuk berfikir How if atau ‘bagaimana jika’ terkait wacana rencana pemulangan WNI mantan pendukung ISIS?
Temanya adalah: Bagaimana Jika Para WNI Mantan Simpatisan ISIS Itu Dipulangkan Paksa?
Pertanyaan pertama terkait hal ini adalah: Mungkin nggak sih mereka itu jika tidak kita pulangkan lalu dipulangkan paksa oleh otoritas internasional?
Jawabannya sangat mungkin.
Berdasarkan info terakhir yang dikeluarkan oleh BNPT melalui Komjen Pol Suhardi Alius, 600 orang lebih WNI di kamp penampungan eks ISIS (yang mengaku WNI berdasarkan laporan intelijen internasional) adalah perempuan dan anak-anak. (Lihat https://nasional.tempo.co/read/1304763/kepala-bnpt-600-wni-eks-isis-mayoritas-perempuan-dan-anak/ )
Dari halaman web di atas saya mengarisbawahi bagian berikut:
BNPT tidak bisa melakukan verifikasi secara langsung karena tak memiliki akses ke tiga kamp pengungsian di Suriah, yaitu yaitu Al Hawl, Al Roj, dan Ayn Issa. Menurut dia, di sana ada tiga otoritas kekuasaan. Ada Syrian Democratic Forces, Pemerintah Suriah, dan Kurdistan. Mereka tidak mengizinkan masuk semua negara. “Tidak diizinkan, risikonya bahaya, nyawa juga gitu kalau masuk sana,” ujar Kepala BNPT Komjen Pol Suhardi Alius.
Berdasarkan keterangan Kepala BNPT di atas, ada tiga otoritas kekuasaan yang membawahi kamp-kamp penampungan para pendukung ISIS. Syrian Democratic Forces (SDF), Pemerintah Suriah, dan Kurdistan (PKK).
Mari berfikir, apakah ketiga pihak di atas akan mau menampung mereka terus-terusan ? Ketiga pihak di atas masih terlibat peperangan mereka masing-masing. Artinya kondisi sumber daya dan kekuatan militer mereka bisa semakin melemah setiap saat. Dan keberadaan paran pendukung ISIS di kamp-kamp penampungan itu pasti akan semakin memberatkan.
Solusi yang paling mungkin jika kondisi itu terjadi adalah menyerahkan mereka kepada badan pengungsian PBB (UNHCR). Persoalan berikutnya: PBB menganut peraturan yang mengacu pada Konvensi Jenewa yang menyatakan bahwa orang itu tidak bisa menjadi tanpa negara dalam tataran dunia. Kemungkinan besar PBB akan berusaha mengembalikan ke negara asalnya jika memungkinkan.
Lalu bagaimana jika yang terjadi adalah salah satu dari ketiga pihak yang memiliki otoritas itu kalah dalam perang? Ini berlaku bagi Syrian Democratic Forces (SDF), dan Kurdistan (PKK). SDF dikalahkan oleh tentara pemerintah Syiria dan PKK dikalahkan oleh Turki.
Bagaimana nasib para penghuni kamp-kamp penampungan di bawah kekuasaan SDF dan PKK? Ketika PKK berhasil dipukul mundur oleh Turki misalnya, Turki jelas akan memulangkan mereka sebagaimana sikap Turki selama ini terhadap pelintas batas yang telah dan hendak bergabung dengan ISIS. Atau minimal akan menyerahkannya kepada PBB.
Kembali lagi ke pertanyaan yang menjadi tema kita: Bagaimana Jika Para WNI Mantan Simpatisan ISIS Itu Dipulangkan Paksa?
Dari uraian singkat sependek yang saya tahu di atas, para WNI mantan pendukung ISIS itu sangat mungkin akan dipulangkan paksa. Artinya mereka tetap akan kembali ke Indonesia tanpa kita yang memulangkan mereka.
Pertanyaan selanjutnya: Siapkah kita menerima mereka?
Jika itu benar-benar terjadi maka siap atau tidak siap, suka atau tidak suka, kita tetap harus menerimanya.
Kesiapan untuk menghadapi para mantan napiter yang baru bebas atau mantan pendukung ISIS yang dipulangkan dari luar negeri itu sangat penting. Karena itu adalah sebuah keniscayaan.
Di sini saya dan kawan-kawan pegiat penanganan napiter dan mantan napiter yang lain siap untuk membantu masyarakat memahami isu radikalisme-terorisme lebih dalam. Sehingga nantinya tahu bagaimana cara menghadapi dan menangani para mantan pendukung ISIS itu.
Jika kita salah menangani mereka bisa jadi mereka akan kembali jadi teroris. Bahkan teroris yang semakin meningkat levelnya. Salah satu kesalahan umum yang masih terjadi adalah ketidakpedulian masyarakat pada keluarga napiter atau mantan napiter.
Mereka dibiarkan terus dalam ke-eksklusifan-nya. Ketika mereka butuh uluran tangan untuk kebutuhan pokok mereka (pekerjaan dan pengakuan kembali) dari masyarakat, banyak yang justru membenci kehadiran mereka.
Lalu pada saat seperti itu orang-orang yang sepemahaman dengan mereka datang memberi bantuan dan perhatian. Maka jika ini yang terjadi, jangan sepenuhnya salahkan mereka bila kemudian kembali ke jalan kelompok lamanya.
Dan perlu diketahui, yang ini kurang diperhatikan oleh masyarakat, bahwa mereka ini juga bisa jadi suatu saat nanti akan pulang sendiri diam-diam ketika kamp-kamp penampungan mereka dibubarkan. Jadi, sudah siapkah kita menerima mereka?
Jabal Kili
Foto: narasumber ruangobrol.id