Kisah Perempuan asal Medan Hidupi 3 Anak di Perbatasan Turki – Siria (1)

Other

by Eka Setiawan

Nasib ratusan Warga Negara Indonesia (WNI) yang saat ini berada di Siria masih menunggu kepastian. Tak semuanya berafiliasi dengan kelompok IS (Islamic State) tapi ada pula yang dulu berangkat meninggalkan Indonesia bukan untuk bergabung kelompok itu.

AR, seorang perempuan, yang juga berstatus ibu 3 anak adalah salah satu dari banyak WNI di sana. Kepada ruangobrol.id, dia menceritakan kisahnya.

Saat ini perempuan asli Tebing Tinggi Medan itu tinggal di Jabal Kili Siria setelah akhir pekan lalu dipindahkan dari perbatasan Bab Al Hawa, utara Siria perbatasan dengan Turki.

Usia AR sekarang 38 tahun. Di sana, dia sekarang bersama 3 anaknya, paling besar usia 9 tahun, kemudian 7 tahun dan paling kecil 5 tahun.

Empat tahun lalu, tepatnya tahun 2016 dia bersama 3 anaknya pergi meninggalkan Indonesia. Ini setelah suaminya lebih dulu “hijrah” ke wilayah yang mereka yakini sebagai “Bumi Syam” itu.

Suaminya berinisial YS,43, yang asli Padang, ketika itu hanya berpamitan hendak mengurus bisnis konveksi di Jakarta. AR awalnya tak menaruh curiga suaminya ini akan berangkat duluan ke Siria.

“Karena memang biasa bolak-balik Jakarta-Padang,” kata AR kepada ruangobrol.id akhir pekan lalu.

Untuk waktu cukup lama, dia tak dapat kabar dari suaminya. Itu mulai akhir tahun 2015.

“Kira-kira 10 bulan setelah suami pergi, suami jujur ke saya kalau ke Siria jadi relawan gitu,” lanjutnya.

Dia tak berani banyak bertanya, bahkan menurut saja ketika suami melalui ponsel itu meminta dia menyusul berikut anak-anaknya.

Katanya, Bumi Syam adalah tempat yang diberkahi. Penjelasan suaminya itu, sebut AR, ditambahi yang diyakininya hadis-hadis Nabi.

“Namanya istri harus taat suami, saya menurut,” tambahnya.

Akhirnya setahun setelah kepergian suaminya ke Siria, dia dan 3 anaknya menyusul. Perbekalan seadanya, terbanglah mereka ke Istanbul Turki sebelum beralih ke jalur darat menuju ke selatan, masuk Siria. Mereka menetap di Kota Idlib.

Namun, sesampainya di Idlib, Arma tak pernah bertemu dengan suaminya. Mereka lepas kontak. Tidak bisa dihubungi. Hingga akhirnya mendapat kabar jika suaminya telah meninggal dunia.

AR tak bisa berbuat banyak, selain hanya berdoa juga berusaha tetap bertahan hidup di sana. Melindungi 3 anaknya. Dia mengatakan, di Idlib cukup banyak warga yang membantu, orang-orang asing. Kadang memberi sembako, memberikan uang jajan kepada anak-anaknya ataupun sekadar memberi jajanan.

Ketika itu, mereka tinggal di rumah-rumah kontrakan. Selain berbaur dengan warga-warga dari negara lain di sana, juga ada yang sama dengannya, perempuan-perempuan Indonesia.

Cerita mereka nyaris sama, meninggalkan Indonesia ke Siria karena taat “perintah” suami. Berbekal seadanya, mereka bertahan hidup di sana, tahun demi tahun.

Saat AR kali pertama tiba di Kota Idlib, wilayah itu dikuasai kelompok Al Nusra sebelum beralih ke kelompok Haiah Tahrir Al Syam (Haiatus Syam).

Di Idlib Arma sehari-hari hanya berdiam di rumah kontrakan, mengurus 3 anaknya. Sesekali keluar berbelanja bahan makanan. Ada 3 keluarga lain di rumah kontrakan saat itu.

Bertahan Hidup

Seiring perkembangan waktu, Idlib yang terletak di Siria bagian utara itu mulai se ring pecah konflik. Bombardir persenjataan berat kian hari makin sering terjadi. Pemboman ada di mana-mana.

Mereka bersama orang-orang lainnya tentu takut, melarikan diri hingga sampailah ke Bab Al Hawa itu. Apalagi ketika itu perbekalannya makin menipis. Arma tentu berpikir tidak bisa hidup hanya dengan mengandalkan uluran tangan orang lain.

AR kini menunggu kabar baik. Ingin sekali dia pulang ke Indonesia.

Sebelum “Hijrah”

“Hijrahnya” mereka ke Siria itu, diakui AR, karena memang sejak awal di Indonesia sudah kerap mendapat kabar tentang “berita-berita” akhir zaman.

Informasi-informasi itu diperoleh AR dari suaminya sepulang mengikuti pengajian-pengajian di Padang. Di komplek tempat tinggal mereka.

Materi yang disampaikan seputaran tentang “akhir zaman”. Selain pengajian kelompok, juga mereka kerap mendengarkan ceramah-ceramah di YouTube.

 

 

Jabal Kili

Foto: narasumber

Komentar

Tulis Komentar