Kemarin (1/2), Menteri Agama Fahrul Razi mengatakan bahwa BNPT akan pulangkan 600 WNI dari wilayah ISIS. Returnees ISIS – demikian sebutannya – akan dikembalikan atas alasan kemanusiaan. Pasalnya, negara tidak boleh membiarkan warganya stateless meski mereka telah membakar paspor.
Pada Juli tahun lalu, ruangobrol.id pernah melakukan diskusi khusus mengenai ini bersama Noor Huda Ismail yang merupakan founder ruangobrol.id sekaligus pakar rehabilitasi teroris, Majalah Tempo, BNPT, Kemenkopolhukam dan Dinas Sosial. Saat itu, turut hadir juga Meutia Hafidz, reporter yang saat ini menduduki Komisi I DPR RI.
Kepala BNPT, Komjen Pol Suhardi Alius mengaku sedang mengkaji pemulangan WNI dari Suriah. Rencananya, mereka akan melakukan assesment secara selektif di Suriah sebelum diterbangkan ke Indonesia. Returnees yang memiliki kecenderungan radikal akan langsung diproses secara hukum sedangkan rehabilitasi ditujukan kepada mereka yang sudah mau kembali ke NKRI.
Dalam kesempatan berbeda, mantan Narapidana Terorisme Abu Fida mengatakan bahwa sangat mudah mengidentifikasi mereka. Menurut lulusan Umm al-Quro Mekkah ini, simpatisan ISIS yang ingin pulang dipastikan mau kembali ke NKRI dan menerima segala konsekuensinya. Sedangkan mereka yang masih radikal akan memilih untuk tidak pulang dan menetap disana hingga akhir hayat.
Setuju atau tidak setuju, WNI ini akan tetap dipulangkan dari Suriah. Namun, screening seperti apa yang perlu dilakukan pemerintah? Apakah pemerintah daerah siap membantu rehabilitasi dan reintegrasinya? Apakah ketahanan masyarakat sudah cukup kuat terhadap virus radikalisme yang mungkin lolos dari screening?
Deportees dan Returnees
Indonesia bukan sekali ini saja memulangkan WNI simpatisan ISIS. Sejak tahun 2017 awal, Indonesia telah menerima ratusan orang yang dideportasi dari berbagai negara karena terlibat kelompok radikal ISIS seperti Turki, Hongkong, Malaysia dan Singapura. Mereka disebut deportan atau deportees.
Hampir 98% WNI ini dideportasi dari Turki karena hendak bergabung dengan ISIS. Sedangkan sisanya, dideportasi karena membuka situs radikal ketika jadi pekerja migran dan termasuk mendanai beberapa orang ke Suriah.
Motivasi deportees ini macam-macam, mulai dari ekonomi, cinta, jodoh, kebencian terhadap ras tertentu hingga masalah ideologi. Propaganda media ISIS berhasil membuat mereka percaya bahwa itulah tanah yang dijanjikan dalam Al Quran. Sampai setelah pemulangan pun, mereka masih meyakini bahwa Khilafah sesungguhnya itu ada dan akan menguasai dunia. Ini tentu berlawanan dengan para penghamba teori konspirasi yang mengatakan bahwa ISIS adalah buatan Amerika.
Ketika saya bertemu dengan seorang ibu 5 anak, ia dengan yakin mengatakan bahwa ISIS tidak hancur. Baginya, itu hanya upaya media internasional melemahkan semangat umat islam untuk ke Suriah. Ibu tersebut pergi ke Suriah karena percaya bahwa Indonesia telah dikuasai Tiongkok sebagai tanda akhir zaman. Buktinya, posisinya sebagai manager bank besar digantikan oleh orang ras Tionghoa. Pertemuan itu saya lakukan 6 bulan setelah kepulangannya, sekitar Oktober 2017.
Pada tahun yang sama, dua bulan sebelumnya, 18 orang yang merupakan satu keluarga kembali dari Suriah. Tentu kita sudah melihat bagaimana mereka yang justru telah menginjakkan kaki ke Suriah dengan lantang mengatakan bahwa khilafah buatan ISIS itu salah. Tak segan mereka juga mengatakan “kami tertipu propaganda ISIS”.
Beberapa deportees yang memiliki motivasi kuat memang cenderung sulit melakukan reintegrasi setelah dipulangkan. Deportees cenderung masih penasaran, belum terpenuhi dan merasa terhalangi. Akhirnya, beberapa kasus terorisme telah melibatkan deportees pada tahun 2018-2019.
Berbeda dengan returnees, meski awalnya mereka sangat ingin tapi hal itu berbanding terbalik begitu sudah di tanah syam. Sekalipun harus menerima hukuman di masyarakat, sulit mendapat paspor lagi dan bahkan sebagian terkena hukuman pidana, mereka tak ingin kembali ke jurang yang sama. Returnees-returnees ini justru aktif dalam kampanye perdamaian.