Tahun 2019 telah berlalu dan memasuki lembaran baru. Berbagai peristiwa teror yang terjadi pun turut mewarnai sepanjang tahun 2019. Tak sedikit peristiwa yang ada menciptakan trauma dan kenangan pahit, bahkan merusak kerukunan umat beragama.
Melihat itu, tentu pemerintah tak ingin peristiwa kelam terulang sehingga perlu belajar dari berbagai pengalaman yang berpotensi mengganggu stabilitas keamanan. Maka menakar potensi ancaman teror menuju tahun 2020 menjadi hal yang perlu untuk diperhatikan. Paling tidak, menurut hemat penulis, ada tiga pola gerakan baru yang muncul dan berpotensi menjadi ancaman keamanan bagi pemerintah.
Pertama, misalnya kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Poso pimpinan Ali Kalora. Meski jumlahnya tak sebanyak dulu ketika masih di bawah kendali Santoso, namun agaknya tidak elok harus menutup mata dan meremehkan kekuatan kelompok ini.
Dalam sebuah rekaman revideo berdurasi 0.58 detik yang rilis pada akhir tahun 2019, menunjukkan sekelompok pria bersenjata sedang melakukan sumpah setia atau bai’at kepada Syaikh Abu Ibrahim Al Hasyimi Al Quraisy, pimpinan ISIS pengganti pendahulunya, Abu Bakar Al Baghdady.
Meski belum bisa dikonfirmasi kebenarannya, namun banyak kalangan menduga video bai’at tersebut adalah kelompok MIT pimpinan Ali Kalora. Kelompok di bawah Ali Kalora ini tentu tidak bisa dianggap remeh. Meski jumlah mereka kecil, namun kelompok ini sudah beberapa kali unjuk gigi. Pada Selasa (25/6/2019) dua orang yang diketahui ayah dan anak asal Dusun 3 Tokasa, Desa Tanah Lanto, Kecamatan Torue, Kab. Parigi Moutong, Sulawesi Selatan ditemukan tewas dengan leher digorok.
Lalu penembakan terhadap personel polisi yang tergabung dalam Operasi Tinombala di Desa Salubanga, Kecamatan Sausu, Kabupaten Parigi Moutong, pada Jumat, 13 Desember 2019. Dalam insiden ini, seorang anggota polisi dikabarkan meninggal dunia. Peristiwa ini sendiri terjadi selepas menunaikan ibadah sholat Jum’at sekitar pukul 12:30 Wita.
Kedua, serpihan dari sisa-sisa kelompok ISIS yang kini bergerak melalui sel-sel kecil. Meski bergerak tanpa terorganisir secara baik, namun kelompok ini cukup efiktif membuat aparat kepolisian kalang kabut.
Terpisah dari kelompok besar, menjadikan gerakan dari sel-sel kecil susah diprediksi. Kasus penusukan yang menimpa Jenderal TNI (Purn) DR. H. Wiranto, SH., (mantan Menko Polhukam) dalam kunjungan kerjanya di Pandegelang, Banten menjadi contoh pola gerakan ini.
Dan ketiga, merebaknya isu penindasan terhadap suku Uighur oleh pemerintah Cina juga memicu persoalan baru. Sebab disadari atau tidak, kasus ini membangkitkan kembali semangat solidaritas di tanah air, terutama di kalangan aktivis akar rumput.
Dalam berbagai narasi yang beredar di jejaring media, muncul seruan untuk melakukan aksi-aksi perlawanan terhadap berbagai kepentingan Cina. Bahkan tagar ‘save Uyghur’ dan ‘boikot produk Cina’ menjadi topik hangat di social media.
Pada Jum’at, 27 Desember lalu, sempat digelar aksi unjuk rasa di depan kedutaan besar Cina di kawasan Mega Kuningan, Jakarta. Dalam aksi tersebut, salah satu tuntutan massa yakni agar Indonesia memutus hubungan diplomatik dengan pemerintah Cina.
Tentu sebagai masyarakat, kita berharap bangsa ini menjadi rumah yang aman dan damai tanpa dihantui rasa ketakutan akan berbagai ancaman. Untuk mencapai itu, tentu tidak hanya sebatas menggantungkan persoalan pada aparatur negara, namun juga membutuhkan usaha bersama.
Kita tidak bisa menutup mata dan telinga akan persoalan ini hingga menunggu menjadi korban keganasann terror, sebab ancaman terorisme itu nyata, di depan mata kita.