Kalau pemuda lain mungkin merasakan pertukaran pelajar atau pertemuan internasional untuk bertemu orang. dari berbagai belahan dunia. Sedangkan saya justru merasakan itu ketika tinggal di Kamp Pengungsian ataupun ketika tinggal di wilayah ISIS.
Saya bertemu, melihat, berinteraksi dan bergaul dengan orang orang dari berbagai belahan dunia. Mereka berasal dari benua Amerika, Eropa sampai Afrika. Saat itu keadaan mengumpulkan kami di suatu tempat.
Ketika awal-awal tinggal di pengungsian UNHCR di Ayn Issa tepatnya wilayah kekuasaan SDF, saya dan keluarga lebih banyak bergaul dengan tentara kurdi, camp management dan pedagang di pasar. Apalagi tentara dan management yang bertanggung jawab penuh atas kami.
Kamp Pengungsian Ayn Issa berada di tengah gurun pasir yang begitu luas yang dihuni puluhan ribu kepala keluarga. Kami perlahan bergaul atau berinteraksi dengan mereka. Mayoritas penduduk adalah berkewarganegaraan Suriah. Mereka mengalami konflik dan peperangan sejak beberapa tahun lamanya.
Saya juga belajar memahami kondisi hidup, budaya, tabiat dan kebiasaan yang jelas berbeda tiap negara atau daerah. Ketika ke pasar, ke dapur umum, ke toilet umum atau sekedar mengambil air, mau tidak mau kami harus berinteraksi. Jujur, kami sudah pernah berinteraksi cukup lama dengan orang Timur Tengah sehingga bisa tau sedikit banyak tabiat mereka.
Seiring berjalannya waktu, saya dan keluarga semakin memperluas pergaulan kami. Walaupun kami dibenci, kami belajar untuk tetap membalas dan menanggapinya dengan baik. Lama kelamaan, saya memahami bahwa ada faktor yang membuat mereka bersikap kasar seperti itu. Saya bisa bayangkan, mereka hidup dalam konflik dan perang selama beberapa tahun. Mereka kehilangan sekolah, hidup penuh kesusahan dan ketakutan. Apalagi mereka sempat bergantung dengan dipimpin ISIS mendatangkan kebaikan.
Abu Nur, Pedagang Baik Hati
Warga Timur Tengah memang cenderung keras, kasar, suke ingkar janji dan kebanyakan sumpah sembarangan. Kami juga tak jarang harus dihadapakan dengan beberapa pengungsi yang benci dengan kami, melempari tenda kami dengan batu, mengolok-olok sampai menyiram air.
Namun Tuhan menyisakan orang orang baik yang terus memberikan dukungan untuk kami dalam proses hijrah. Salah satunya pedagang yang bernama Abu Nur. Meski beliau mengetahui kalau kami pernah tinggal di wilayah ISIS, pedagang tua itu tetap menyambut hangat kami. Bahkan kata katanya sangat santun dan lembut. “Kita ini sama sama islam, sama sama laa illaaha illa allah,” katanya. Kalau lewat warungnya, beliau selalu senyum dan memberi salam hormat.
Pertemuan Sesama ‘Turis’
Tinggal dua bulan di padang pasir luas dengan naungan tenda, sangat menyimpan panas yang cukup kuat di siang hari. Saya adalah anak yang gak bisa diam dan merasa di dalam kamp serasa di oven. Saya memilih keluar tenda, dan duduk dibawah pohon dekat tenda. Kadang-kadang bermain dengan beberapa anak disitu. Selama di camp kami juga jadi ‘turis’, jadi sering sekali disorot.
Saya juga sering bergaul dengan wanita wanita asal Tunisia, Lebanon, Jerman, Prancis, Turki yang sama-sama kabur dari ISIS dan sesama turis. Tempat tinggal mereka dekat dengan kantor tentara, sehingga mereka biasanya punya berita update mengenai kondisi kami dan keluarga kami yang di penjara. Jadi kalau ada perlu ke kantor tentara dan management, saya juga mampir sebentar ke tempat mereka untuk ngobrol tentang alasan hijrah, mengapa keluar dan belajar berbagai bahasa.
Ketika mengisi air dari tong besar juga menyisakan kisah tersendiri. Kami harus berhadapan dengan para tukang nyerobot. Tapi di saat yang bersamaan, saya juga kadang bertemu dengan orang-orang yang membantu dan yang suka memberi nasihat. Mereka sering menceritakan kisah pilu. Jujur, di tengah kondisi yang tidak tau akan seperti apa, saya belajar bersyukur dengan kenal banyak orang dari berbagai negara.
Pertemuan Penuh Haru
Suatu hari, saya mengantre wc atau duduk di tembok depan wc, ada seorang ibu sedang menggendong anaknya yang nampaknya sudah berumur 10 tahun. Ternyata anak tersebut lumpuh dan ada gangguan mental. Ibu itu mengeluh dan curhat, “Mereka djolim, ISIS djolim, SDF djolim. Ya Allah, ya Allah, lihatlah anak saya begini” ujarnya. Sedihnya saya tidak Tak bisa melakukan apa apa.
Saya juga bertemu dengan Ahmad, seorang remaja 15 tahun yang ayah dan abangnya telah meninggal ditembak tentara ISIS. Ahmad sering duduk dekat tenda kami. Suatu siang, keluarga kami harus mengisi air ke botol-botol yang sangat banyak dari tong besar. Ahmad dan temannya datang membantu mengisikan botol botol kosong.
Pernah juga, saya berjalan cukup jauh mencari tong besar yang masih berisi banyak air untuk mencuci baju. Saya mengantri air di tong besar dengan membawa seember pakaian kotor. Tiba-tiba saya dipertemukan dengan pengungsi perempuan yang tinggal bersama adik dan ayahnya. Dia mengajak saya ke tenda nya dan menyuruh saya mencuci baju di tempatnya. Air, sabun, baskom dan papan cuci diberi pinjam.
Selama mencuci, saya diajak ngobrol dengan ayahnya. Awalnya, saya merasakan perasaan gak enak, karena yang namanya membilas baju butuh banyak air. Padahal mereka sudah suruh saya menggunakan air simpanan mereka sepuasnya. Saya hanya menggunakan secukupnya karena tak enak.
Pertemuan Jalan Pulang
Tidak hanya pengungsi, beberapa kali datang wartawan local maupun internasional yang baik. Beberapa diantaranya sky news, CBS News, Wartawan dari Italia, Wartawan Kurdi, Penulis asal Inggris, dan masih banyak lagi. Mereka tidak sekadar minta informasi dari kami, namun juga bersedia membantu atau memberikan saran atau masukan.
Salah satu berita tersebut membawa mas Noor Huda Ismail menjemput kami bersama Pemerintah Indonesia. Kami merasa bertemu dengan jalan pulang.
Bergaul ternyata punya banyak manfaat seperti bisa sebagai ajang berbagi, membuka diri dan menambah teman. Berteman pada siapa saja dari agama, negara dan suku selama bisa mengontrol diri. Jangan sampai masuk ke pergaulan bebas, Pertemanan toxic, orang penebar terror, kebencian, dan perang seperti di surat Al-Mumtahanah ayat 8 dan 9. Bergaul bisa membawa kita ke banyak pertemuan.