Seorang laki-laki duduk bersantai di ruangan AC Dapoer Bistik Solo. Panggil saja Harun (bukan nama sebenarnya). Ia keluar dari lembaga permasyarakatan April 2019 lalu. Saya pertama kali bertemu dengan laki-laki 41 tahun itu pada 2017 lalu. Saat itu saya sedang mewawancarai narapidana teroris perempuan di Rumah Tahanan (Rutan) Mako Brimob Kelapa Dua, Depok. Ia tengah kebagian waktu piket. Saya mengobrol dengan salah satu petugas rutan dan ternyata Pak Harun sedang di-bond mingguan.
Tak sengaja, saya mendengarkan bagaimana mereka. Percakapannya lebih kepada curhat tentang keseharian. Tapi Pak Harun tiba-tiba melihat saya.
“Mba darimana?” Tanyanya ramah dari balik jeruji.
“Dari Yayasan, pak.” Jawab saya.
Dia mengangguk-ngangguk. “Kok saya lihat mba sering kesini.” Ujarnya.
“Iya pak. Minggu depan saya kesini lagi.” Kata saya “Bapak mau saya bawain apa?”
“Cat rambut.” Katanya.
“boleh gak?” Tanya saya kepada petugas.
Petugas rutan mengangguk, “Boleh. Cat doank kan? Plastik?”
“Iya. Masa kaleng?”
Satu minggu kemudian, saya kembali bertemu Pak Harun. Saya memberikan titipannya dan kemudian sedikit mengobrol.
“Bapak darimana asalnya?” Tanya saya.
“Solo. Tau?”
“Wah, kita punya Dapoer Bistik di Solo. Nanti kalau udah keluar, kesana ya!” Kata saya.
Dia tersenyum, “Masih lama, mba.”
Dua pertemuan itu memang saya asyik mengobrol dan memutuskan belum bertanya kasusnya. Saya pun mencoba bertanya, “Emang sampai kapan?”
“2019 mungkin. Semoga cepet pindah ke Lapas biar dapet remisi.” Harapnya.
“Istri suka jenguk?” Tanya saya pelan.
“Gak, kasian anak masih kecil.”
“Emang umur berapa?”
“Yang terakhir masih satu tahun lebih”
“Terus pernah ketemu?” Saya penasaran.
“Waktu saya tinggal itu umur 6 bulan. Pas sidang, datang, waktu itu mau satu tahun. Eh malah takut saya gendong.” Ia bercerita tampak sedih.
“Ya ampun”, saya prihatin.
Setelah pertemuan itu, saya coba menghubungi istri beliau di Solo. Ketika bertugas di Solo pun saya sempatkan bertemu. Istrinya tak kalah ramah dan sehari-hari menghidupi keluarga dengan berjualan baju.
“Alhamdulillah laris mba. Cuma suka galau aja gitu, jauh dari suami. Apalagi susah, mau ngehubungin lewat mana?” Cerita Mba Hana, istri Pak Harun.
Pak Harun terkena pidana terorisme pasal 13C, 12B karena menyembunyikan informasi tentang DPO dan diduga bermufakat jahat. DPO tersebut adalah temannya dimana awalnya ia hanya membantu menolong.
Dulu, ia melihat bahwa itu adalah ibadah karena mendukung perjuangan. Harun sempat berpikir bahwa ia mungkin hanya dipidana 3 tahun, sehingga akhirnya ia memutuskan menolong temannya. Namun, setelah itu ia kembali berpikir bahwa ada keluarga dan karir yang dikorbankan kemudian.
“Tapi kalau saya gak tolong, ini gimana teman saya.” Katanya dalam video duduk bareng bersama ruangobrol.id
(Lihat lengkapnya di Duduk Bareng Mantan Mapiter Yang Terjerat UU Anti Teroris)
Ia pernah bergabung dengan FPI (Front Pembela Islam). Pak Harun sempat simpati terhadap perjuangan ISIS karena temannya itu. Setelah menolong temannya, temannya itu tersebut justru melakukan aksi di Kapolres Solo.