Pasca pilpres 2019, banyak masyarakat berharap kondisi setelahnya mampu meredam gejolak yang terjadi. Kenyataannya, justru persoalan kian datang silih berganti. Narasi-narasi kebangkitan umat, penuntutan keadilan, berbagai gesekan antar kepentingan politis tak ubahnya seperti kain kisut yang selalu menjadi bahan rebutan. Dalam seminggu terakhir ini saja, kita dihadirkan pada serangkain kemelut politik yang muncul seperti musiman.
Di saat bangsa-bangsa lain sibuk dengan berbagai penelitian dan pengembangan ilmu teknologi, bangsa sendiri justru saling sibuk untuk unjuk gigi. Bukan fokus pada prestasi, semua hadir untuk menampilkan diri sebagai bagian dari populasi besar. Narasi yang dibangun hanyalah kebersatuan umat selayaknya masa kekhalifahan.
Secara historis bangsa ini telah memiliki riwayat mengenai idealisme ‘kebhinnekaan’. Namun itu juga beriringan dengan gerakan-gerakan kelompok puritan di negeri ini. Ini seolah menjadi tamparan telak bagi penerapan konsep ideal tersebut. Itu juga tak terlepas pada kelompok yang selama ini gemar menebar rasa takut dengan perilaku dehumanistik yang mencederai simbol ‘persatuan bagi seluruh rakyat Indonesia’.
Dalam bahasa yang lebih lugas, Pancasila sebagai dasar negara yang dianggap mampu mengayomi keluruhan budi berbagai suku, ras, agama, tradisi dan budaya, tidak mampu meredam laju paham ekstrimisme dan anarkisme yang bertopeng dan berjubah agama.
Apa sebenarnya akar persoalan dari berbagai polemik yang muncul di negeri ini? Perlu kiranya disadari, munculnya berbagai persoalan serius yang dihadapi begitu kompleks. Tidak bisa hanya dipahami hanya sekedar perbedaan interpretasi kitab suci, perbedaan orientasi politik kekuasaan dan perbedaan ideologi semata.
Persoalan kemanusiaan, kebutuhan pemenuhan basis-basis material seperti sandang, pangan, papan dan perjuangan terhadap pencapaian keadilan sosial, adalah diantara kompleksitas yang harus dihitung sebagai faktor-faktor fundamental atas lahirnya berbagai polemik yang ada.
Sejarah kolonisasi, imperialisasi dan modernisme, telah menumbuhkan reaksi-reaksi yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Secara faktual, representasi persoalan ini bisa ditinjau dari munculnya berbagai paham dan gerakan kelompok yang menuntut purifikasi Islam di Timur Tengah, Afrika, Asia dan bahkan Asia Tenggara.
Kelompok ini, secara konsisten mengkampanyekan utopisme yang merujuk pada masa-masa gemilang masyarakat pertama di era kenabian Muhammad. Sementara di saat yang sama, itu semua sebenarnya adalah buah ketidaksanggupan kultural dalam menghadapi berbagai kecamuk dan penjajahan materiil bangsa-bangsa Eropa, Amerika dan Cina.
Alih-alih mengukuhkan kekuatan perlawanan terhadap hegemoni dan dominasi Barat, malah memperkeruh kondisi internal kaum Muslimin di berbagai negara Muslim yang rata-rata masih mencapai tahap pembangunan diri, bahkan beberapa yang lain tergolong sebagai negara-negara yang tidak berdaya secara finansial. Tidak terkecuali di negeri ini, persoalan radikalisme adalah masalah lain yang turut memperberat pekerjaan rumah seluruh entitas bangsa dan negara Indonesia.
Oleh karena itu, pengembaraan intelektual akan membawa kita semua untuk mencoba merefleksikan kembali, melalui multikulturalisme yang bisa berfungsi untuk meredam berbagai pandangan yang dipahami secara berlebihan.
Secara filosofis, multikulturalisme sangat bernilai untuk menghimpun kekuatan dari keberbedaan dan keberagaman, baik itu sosial, politik dan kebudayaan yang secara pragmatis, kemudian didorong untuk menjawab dua persoalan kontemporer, yaitu keadilan sosial dan kemanusiaan.
Noor Huda Ismail, pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian sekaligus pengamat terorisme ini pernah menyebutnya sebagai ‘politik perjumpaan’. Yakni dengan memberikan pengalaman-pengalaman baru sebagai alternatif agar mampu menghidupkan cara pandang baru yang lebih terbuka.
Dengan kata lain, multikulturalisme juga bisa diterjemahkan secara progresif, sebagai instrumen untuk agenda deradikalisasi, hanya jika hal tersebut dimanfaatkan dengan landasan dan pertimbangan-pertimbangan humanisme yang luhur, yakni merdeka secara sosial melalui ikhtiar intelektual.