Penyerangan Polisi dan Pembubaran Ponpes Umar Bin Khattab

Other

by Kharis Hadirin

Kasus bom bunuh diri di Polrestabes Medan mengejutkan publik beberapa waktu lalu. Pasalnya, bom tersebut menargetkan penyerangan polisi dan menyisakan trauma. Selain hal itu dilakukan di tengah masyarakat sedang sibuk dengan berbagai keperluannya. Apalagi tepat di lingkungan kantor kepolisian yang seharusnya menjadi rumah aman atau safe house bagi siapa pun yang datang kesana.

Namun sebelum peristiwa yang terjadi di Medan, kasus penyerangan terjadap aparat polisi juga pernah terjadi dan sempat menghebohkan publik tanah air. Sebelumnya pernah terjadi kasus serangan Bom di Pos Polisi Thamrin Jakarta, kerusuhan di Mako Brimob dan Bom di Pos Polisi Kartasura.

Delapan tahun lalu, pernah terjadi penyerangan di Polsek Bolo, Bima. Seorang anggota ditemukan bersimbah darah setelah diserang oleh seorang pria dengan menggunakan pisau. Peristiwa ini sendiri terjadi pada Jum’at (30/6/2011) sekitar pukul 3 pagi. Korban ditusuk dengan pisau saat sedang dalam kondisi tidur di pos jaga. Anggota tersebut akhirnya gugur dalam perjalanan menuju rumah sakit.

Aparat kepolisian berhasil menangkap pelaku. Pelaku mengaku bahwa ia masih berstatus sebagai seorang santri di Pondok Pesantren Umar Bin Khattab Bima. Peristiwa ini sendiri akhirnya berimbas pada penutupan paksa terhadap pondok pesantren tersebut setelah melewati beberapa adegan drama menegangkan.

Dampak Penyerangan Polisi ke Ponpes Umar Bin Khatab

Pondok Pesantren Umar Bin Khattab sendiri terletak di Desa Sanolo, Kecamatan Bolo, Bima, NTB. Pesantren ini berafiliasi pada kelompok Jama’ah Anshorut Tauhid (JAT) pimpinan Abu Bakar Ba’asyir kala itu. Nama pesantren ini belakangan menjadi bahan perbincangan kalangan luas setelah salah satu santrinya, Umar Sya’ban yang menjadi pelaku penusukan anggota Polsek Bolo, Brigadir Rochmat Saifudin.

Abrori M. Ali alias Maskadov alias Abrori al-Ayubi selaku pimpinan pesantren tersebut pada mulanya mengaku kaget dan tidak tahu menahu perihal peristiwa penusukan. Ia baru mengetahui setelah ada seorang rekannya yang berprofesi sebagai dokter dan menangani langsung korban menghubunginya setelah menjelaskan duduk persoalan. Untuk memastikan berita tersebut, Abrori mengecek seluruh santrinya dan mencari informasi terkait kebenaran berita tersebut. Dan dipastikan bahwa salah satu santrinya memang tidak ada.

Selang beberapa saat kemudian, Abrori memperoleh kabar bahwa akan ada penggerebekan oleh aparat di komplek pesantren. Bukannya berusaha mencari jalan keluar, Abrori justru memberikan instruksi untuk memulangkan para santrinya sementara sebagian lainnya agar mempersenjatai diri guna untuk antisipasi ketika terjadi bentrokan dengan aparat.

Ada sekitar 26 orang yang terdiri dari santri, ustad, maupun warga simpatisan yang ikut berkumpul. Sementara perlengkapan persenjataan yang dibawa seperti parang, pedang, tombak dan panah. Abrori juga memerintahkan kepada salah satu pengajar disana untuk merakit bom.

Namun, hampir selama 10 hari penjagaan, kabar bahwa pihak aparat akan melakukan penggerebakan tak juga kunjung terjadi. Hingga pada 10 Juli 2011, Abrori memerintahkan kepada Anas yang juga perakit bom untuk membongkar kembali bom yang sudah terlanjur dirakitnya tersebut. Lalu berangkatlah Anas bersama Firdaus menuju tempat dimana bom tersebut disimpan. Namun tanpa ada komando, Firdaus mencoba untuk membongkarnya sendiri. Saat itu, mungkin ia berpikir bahwa bom tidak akan meledak begitu saja jika pemicunya tidak dinyalakan.

Naas bagi Firdaus, ketika berusaha untuk membongkarnya, tiba-tiba bom tersebut meledak. Firdaus saat itu langsung tewas di tempat terkena ledakan, sementara Anas yang berada di belakangnya mengalami luka parah. Akibat kejadian tersebut, aparat keamanan memaksa masuk dan menangkap seluruh orang-orang yang berada di dalam pesantren. Termasuk juga Abrori yang juga turut diamankan beberapa hari pasca ledakan atau pada Jumat (15/7/2011) siang.

Peristiwa yang terjadi di Pondok Pesantren Umar Bin Khattab Bima ini pun kemudian menjadi perdebatan banyak kalangan. Termasuk perihal kepastian izin penggunaan bangunan sebagai lembaga pendidikan agama dari pemerintah setempat. Pasalnya, hal ini menjadi fenomena pertama penggerebekan terhadap pondok pesantren semenjak peristiwa bom Bali terjadi.

Komentar

Tulis Komentar