Tanggapan Atas Beberapa Pernyataan dan Komentar Terkait Bom Mapolresta Medan

Other

by Arif Budi Setyawan

Bom Mapolresta Medan yang terjadi kemarin sontak memantik beragam reaksi dan komentar. Sebut saja komentar dari tokoh agama, pejabat negara, pengamat, LSM pengawas kepolisian, para anggota Dewan, sampai para netizen. Mereka tak bisa menahan diri untuk tidak berkomentar pada setiap pemberitaan media.


Di antara pernyataan dan komentar-komentar itu ada beberapa yang menjadi catatan saya dan perlu saya tanggapi dari sudut pandang orang yang pernah menjadi bagian dari kelompok pelaku tindakan radikal.


1. Ada yang meminta program deradikalisasi dievaluasi.


Saya pribadi kurang sependapat dengan istilah program deradikalisasi. Saya lebih cenderung setuju dengan program kontra radikalisme. Karena dalam program kontra radikalisme termasuk di dalamnya ada unsur edukasi masyarakat agar tidak terpapar, bisa mencegah, dan bisa ikut dalam penanggulangan teorisme/radikalisme.


Jika ada yang harus dievaluasi, maka yang perlu dievaluasi adalah program kontra radikalisme. Lebih khusus lagi adalah penguatan program edukasi masyarakat terkait isu terorisme dan radikalisme. Karena merekalah sebenarnya ujung tombak dalam pencegahan dan penanggulangan terorisme dan radikalisme.


Bukankah para pelaku tindak pidana terorisme itu berasal dari masyarakat dan akan kembali ke masyarakat?


( Baca juga : https://www.ruangobrol.id/2019/10/20/fenomena/indonesia/persoalan-yang-dihadapi-masyarakat-pasca-penangkapan-para-terduga-teroris/ )


2. Ada yang mengkritik kurangnya deteksi dini aparat keamanan dan menyebut polisi dan BIN kembali kecolongan.


Kita perlu memahami bahwa apa yang dilakukan oleh para pelaku aksi teror itu mereka yakini sebagai bentuk perang. Dan strategi mereka adalah jelas perang gerilya. Perang antara yang lemah melawan yang kuat. Perang gerilya itu memiliki sifat khas: tersembunyi dalam pergerakan dan kejutan dalam menyerang.


( Baca juga : https://www.ruangobrol.id/2019/10/18/ulasan/analisa/mengapa-para-pendukung-isis-di-indonesia-masih-gencar-melakukan-serangan/ )


Keinginan mereka untuk terus menunjukkan eksistensi kelompok mereka melalui aksi-aksi seperti itu membuat mereka terus berimprovisasi dalam aksi-aksinya. Intinya mereka ingin membuat sebuah kejutan dalam setiap aksi mereka. Sehingga muncul ide-ide untuk melakukan aksi-aksi sederhana yang sulit terbaca oleh pemantauan aparat keamanan. Termasuk berkamuflase dengan atribut pengemudi ojek online.


Setiap hari yang mereka pikirkan adalah mencari peluang dan celah keamanan. Sementara kita banyak urusan lain yang lebih penting daripada sekadar memikirkan apa yang kira-kira akan mereka lakukan terhadap kita.


3. Nyiyiran para netizen tentang kinerja aparat keamanan.


Pesan saya kepada para netizen yang terhormat: hentikanlah komentar-komentar nyinyir Anda karena akan membuat suasana semakin gaduh. Ketahuilah, kegaduhan yang timbul di masyarakat itu membuat kelompok ‘teroris’ senang. Semakin jatuh citra negara di hadapan masyarakat mereka akan semakin senang.


4. Ada yang meminta pola rekrutmen pengemudi ojek online dievaluasi gara-gara pelaku pakai atribut driver ojek online ketika menjalankan aksinya


Ini pernyataan yang saya rasa kurang tepat. Saya mau tanya bagaimana jika orang itu baru terpapar virus ekstremisme setelah jadi pengemudi ojek online? Bagaimana pola rekrutmen yang bisa memprediksi perilaku atau pemikiran seorang calon pengemudi ojek online? Ada nggak kira-kira?


Aparat keamanan negara yang punya seabrek teknologi dan SDM untuk memantau media sosial dan menyadap alat komunikasi saja masih kesulitan menentukan siapa yang akan melakukan aksi teror. Apalah lagi penyelenggara ojek online.


( Baca juga : https://www.ruangobrol.id/2019/10/16/ulasan/analisa/mengapa-aksi-penusukan-menkopolhukam-sulit-dicegah-meski-pelakunya-sudah-terpantau/ )


5. Beberapa tokoh dan pejabat negara menghimbau agar masyarakat terlibat aktif mencegah terjadinya atau berkembangnya terorisme.


Ini menurut saya sampai hari ini masih berupa himbauan. Edukasi terhadap masyarakat tentang bagaimana memahami isu terorisme dan cara menangkal atau menghadapinya masih sangat kurang. Jangankan pada masyarakat, pada para penegak hukum di tingkat bawah saja saya lihat masih sangat kurang.


Terakhir saya ingin menyampaikan, mungkin dalam beberapa keadaan kita gagal, tapi bukan berarti semuanya gagal. Masih banyak yang tetap berkembang positif.


Jadi, jangan sampai karena nila setitik rusak susu sebelanga. Jangan sampai karena kegagalan mengantisipasi aksi bom bunuh diri di Mapolresta Medan lalu kita hilang kepercayaan terhadap negara ini.

Komentar

Tulis Komentar