Indahnya Representasi Budaya Islam di Dunia

Other

by Eka Setiawan

Pernyataan Menteri Agama Republik Indonesia Fachrul Razi soal rencana larangan bagi aparatur sipil negara (ASN) untuk bercadar dan bercelana cingkrang menuai polemik. Pro kontra tentunya terjadi.

Respon dari kelompok yg tidak setuju terhadap pernyataan tersebut juga ramai di sosial media. Mereka merespon bahwa cadar dan celana cingkrang adalah identitas Islam dan karenanya tidak perlu dilarang, karena itu bagian dari syariah Islam dan Sunnah Rasul yg harus dipatuhi umatnya.

Direktur Eksekutif Society Against Radicalism and Violent Extremism (SeRVE) Indonesia, Dete Aliah, mengemukakan pendapatnya terkait hal ini.

Di salah satu platform media sosial, Dete, baru-baru ini sempat ‘berdebat’ dengan salah satu teman Facebooknya yang memposting untuk tidak malu menggunakan identitas Islam.

Dete lantas menanyakan argumentasi "identitas" itu, apakah identitas Islam itu cadar dan bercelana cingkrang? Betapa terkejutnya dia ketika sang teman menjawab "Islam itu agama dalil, dan siapa melawan dalil, dia tidak menjalankan Islam dengan benar".

Ketika dikejar lebih soal dalil ini, sang teman tidak bisa menjelaskan. Dia hanya menjawab "Pokoknya dalilnya begitu dan harus diikuti".

Argumentasi yang kurang mendasar dan hanya "pokoknya dalil" ini menyiratkan seolah-olah Islam ini agama dogmatis yang dan seolah Nabi Muhammad hanya memberi perintah tanpa alasan logis, termasuk dalam hal berpakaian ini. Cadar adalah syariah Islam ini yang membuat Dete berpikir.

“Apa iya cadar ini syariah Islam dan perempuan Islam di dunia harus bercadar karena itu adalah sunnah Rasul yg harus diikuti?," kata Dete saat dihubungi ruangobrol.id via WhatsApp (WA), Kamis (7/11/2019) dini hari.

Dete yang saat ini sedang berada di Nigeria gerah dengan argumen semacam itu. Dia mencontohkan, ketika mengobrol dengan seorang wanita setempat, bernama Zule.

Wanita dari Nigeria ini mengatakan kepada Dete bahwa penutup kepalanya ini adalah sejenis jilbab, yang disesuaikan dengan budaya Nigeria. Menurut Zule penutup kepala seperti itu sesuai dengan perintah Tuhan.

“Juga menurut masyarakat Afrika pemeluk agama Islam lainnya. Di Nigeria dan hampir semua negara Afrika, masyarakatnya merespon perintah berjilbab dengan pakaian seperti ini,” lanjutnya.

Dete juga mencontohkan perbedaan lainnya, walaupun sama-sama Muslim. Di negara-negara Asia Selatan misalnya, seperti India, Bangladesh, Pakistan, Nepal, Srilanka.

Perempuan Muslim di sana merespon perintah Tuhan soal berjilbab dengan pakaian saluar kamis atau saluar kurta dan dupeta yakni selendang panjang yang digunakan untuk menutupi dada, tapi tidak menutup kepala. Di Asia Tengah mereka juga merespon dengan pakaian yang berbeda.

“Saluar kamis dan dupeta juga menutup aurat loh, pashmina juga menutup dada. Esensi dari perintah Tuhan itu kan menutup aurat, dan orang Asia Selatan menginterpretasikan menutup aurat itu dengan mengenakan selendang itu di dadanya untuk menutupi aurat kewanitaannya itu, jadi sama esensinya, walaupun bentuk tampilannya berbeda,” ungkap Dete.

Sementara di negara-negara Arab, yang kondisi alamnya berbeda, mereka, para perempuan Muslim mengenakan cadar, sebut Dete, itu karena disesuaikan kondisi lingkungan.

“Karena padang pasir, cadar itu digunakan untuk menutup hidung. Kan debu masuk ke hidung dan itu nggak bagus untuk paru-paru,” sambungnya.

Dete menegaskan, tiap negara pasti punya cara sendiri-sendiri untuk merespon perintah Tuhan. Identitas keislaman tentunya akan berbeda-beda pula disesuaikan dengan budaya setempat termasuk lingkungannya dan kondisi alam mereka. Jadi tidak bisa direspon seragam.

“Jadi Islam bukan agama dalil, yang pokoknya harus begini-begini. Dalil ada argumentasi dan logikanya,” kata Dete.

Menurut Dete, perbedaan merespon perintah Tuhan pada masyarakat di berbagai negara itulah kekayaan khazanah Islam. Seperti kayanya budaya Islam dalam berpakaian.

“Sangat menarik bagaimana perintah menutup aurat yang diperintahkan Allah dalam Alquran diinterpretasikan berbeda-beda oleh masing-masing negara yang ada penduduk Islamnya. Dan perbedaan ini indah, itulah kekayaan Islam,” jelas Dete.

Khazanah kekayaan Islam ini juga soal pemikiran. Seperti saat Pemerintah Kerajaan Saudi Arabia hendak menghapus 4 mazhab dalam Islam, sebut Dete, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyurati pihak kerajaan dan menyatakan keberatannya.

Sebabnya, karena 4 mazhab dalam Islam itu adalah khazanah kekayaan pemikiran Islam. Oleh sebab itu, keberadaannya harus dijaga agar tidak hilang.

Selain itu, umat Muslim di dunia juga menggunakan mazhab yang berbeda-beda. Ada pengikut Syafei, Hambali, Maliki maupun Hanafi. Jadi jika 4 mazhab itu dihapus tentu akan menimbulkan kegaduhan bagi para pengikutnya, .

Sebab itulah, PBNU keberatan dengan rencana pemerintah Arab Saudi untuk menghapus 4 mazhab. Mereka kemudian menerima argumentasi PBNU dan hingga kini 4 mazhab itu masih ada.

“Menyeragamkan dengan satu mazhab saja bukanlah tindakan yang bijak, apalagi memperkenalkan mazhab baru yang tidak dikenal dunia Islam dan pengikutnya sebelumnya,” tutup Dete.

 

FOTO DOK. PRIBADI

Direktur Eksekutif Society Against Radicalism and Violent Extremism (SeRVE) Indonesia Dete Aliah.

 

Komentar

Tulis Komentar